Berkeliling Mengitari Kuburan

Lembaga Fatwa Mesir
Pertanyaan

Memperhatikan permintaan fatwa No. 1113 tahun 2006, yang berisi:

Pada tanggal 20 Maret 2006, bertepatan dengan tanggal 20 Shafar 1427H, koran ar-Ra`yu memuat sebuah wawancara dengan salah seorang Syaikh kami di Kuwait. Beliau pernah menjabat sebagai dekan Fakultas Syari'ah di Universitas Kuwait. Dalam wawancara tersebut beliau menjawab salah satu pertanyaan seputar kemusyrikan. Beliau berkata, "Adapun berjalan mengelilingi kuburan maka itu tidak dianjurkan menurut seluruh ulama, termasuk orang-orang sufi sendiri. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya; apakah haram atau makruh. Tidak seorang pun yang mengatakan bahwa hal itu adalah kemusyrikan, kecuali beberapa orang yang jumlahnya sedikit dari orang-orang yang dianggap berilmu."

Kata-kata beliau itu menimbulkan reaksi keras seperti yang dituangkan dalam berbagai artikel yang ditulis oleh sejumlah dosen ilmu syariah dan yang lainnya. Artikel-artikel tersebut menyalahkan perkataan guru kami itu dan mencela beliau, bahkan ada yang menuduh beliau secara tidak langsung dengan tuduhan mengajak masyarakat untuk berbuat kemusyrikan.

Karena di hati kami Anda mempunyai posisi yang tinggi dan perkataan Anda kami hormati, maka kami mohon penjelasan hukum Allah dalam masalah ini, semoga penjelasan Anda menghentikan keributan ini yang mengakibatkan efek tidak baik.

Jawaban (Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad)




Ketika berbicara dalam masalah ini dan sejenisnya, hendaknya terlebih dahulu kita membicarakan tiga pokok permasalahan yang harus diperhatikan:

1. Pada dasarnya perbuatan yang dilakukan orang muslim hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan dasar tauhid. Kita tidak boleh terburu-buru memvonisnya telah melakukan kekafiran atau kemusyrikan. Karena keislamannya merupakan indikasi kuat yang mengharuskan kita tidak memahami semua perbuatannya sebagai perbuatan yang mengakibatkan kekafiran. Ini merupakan kaedah umum yang harus diterapkan oleh kaum muslimin dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh kaum muslimin yang lain.

Imam Malik, Imam Darul Hijrah rahimahullah telah menyatakan hal itu dengan kata-kata beliau, "Barang siapa melakukan sesuatu yang sembilan puluh sembilan persennya mengandung kemungkinan sebagai kekafiran dan satu persennya sebagai keimanan, maka tindakan itu harus dipahami sebagai keimanan."

Marilah kita contohkan dalam perkatan dan perbuatan. Seorang muslim meyakini bahwa Nabi Isa al-Masih a.s. dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati, namun dengan izin Allah. Nabi Isa a.s. tidak mampu melakukan hal itu sendiri melainkan dengan kekuatan dan kekuasaan Allah. Sedangkan orang Nasrani meyakini bahwa Nabi Isa a.s. mampu menghidupkan orang mati dengan kekuatannya sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa dialah Tuhan, putra Tuhan, atau salah satu oknum Tuhan. Berdasarkan hal ini, jika kita mendengar seorang muslim yang mengesakan Allah dan seorang beragama Kristen keduanya berkata, "Saya yakin bahwa Isa al-Masih a.s. dapat menghidupkan orang yang telah mati", maka hendaknya kita tidak menyangka bahwa orang muslim itu telah menjadi Kristen karena kata-kata ini, namun kita memahaminya dengan makna yang layak dengan statusnya sebagai seorang muslim yang mengesakan Allah.

Seorang muslim juga meyakini bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali untuk Allah semata. Sedangkan orang musyrik berkeyakinan bahwa ibadah boleh dipersembahkan kepada selain Allah. Oleh karena itu, jika kita melihat seorang muslim melakukan suatu perbuatan yang ditujukan untuk selain Allah tapi mempunyai kemungkinan sebagai suatu ibadah dan kemungkinan yang lain, maka kita harus memahami perbuatannya itu sesuai dengan akidahnya sebagai seorang muslim. Karena barang siapa yang benar-benar telah menyatakan keislamannya dengan penuh keyakinan, maka keislamannya itu tidak dapat hilang hanya dengan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan.

Oleh karena itu, ketika Mu'adz bin Jabal r.a. bersujud kepada Nabi saw. –sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hiban--, maka beliau pun melarangnya. Namun beliau tidak menyebut perbuatan Muadz itu sebagai sebuah kemusyrikan atau kekafiran. Mu'adz bin Jabal r.a. –seorang sahabat yang paling tahu tentang halal dan haram— tentu bukan tidak mengetahui bahwa sujud adalah ibadah, dan ibadah tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah. Akan tetapi, ketika sujud mengandung kemungkinan lain selain penyembahan kepada sesuatu yang disujudi, maka tindakan itu tidak boleh dipahami sebagai sebuah penyembahan jika dilakukan oleh seorang muslim, atau juga tidak boleh langsung mengafirkannya.

Al-Hafzih adz-Dzahabi berkata, "Tidakkah engkau melihat bahwa para sahabat karena kecintaan mereka yang sangat mendalam kepada Nabi saw. maka mereka berkata, "Apakah kami boleh bersujud kepadamu?" Beliau menjawab, "Jangan." Seandainya beliau mengizinkan mereka untuk bersujud niscaya mereka bersujud kepada beliau sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan, bukan sujud ibadah. Hal ini sebagaimana sujudnya saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. kepadanya. Demikian juga tentang sujud seorang muslim ke kuburan Nabi saw. untuk memuliakan dan mengagungkan beliau tidaklah membuatnya kafir, melainkan dia hanya berbuat dosa (maksiat). Orang itu harus diberitahu bahwa perbuatannya tersebut dilarang. Demikian juga salat ke arah kuburan. (Dari Mu'jam asy-Syuyûkh, hlm. 56).

Menyalahi kaidah dasar ini merupakan tipikal orang-orang Khawarij. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Umar r.a. bahwa inilah sebab kesesatan mereka. Ibnu Umar r.a. berkata, "Sesungguhnya mereka mengambil ayat-ayat yang turun untuk orang-orang kafir, lalu menerapkannya untuk orang-orang mukmin." Riwayat ini disebutkan oleh Bukhari secara mu'allaq di dalam Shahîh-nya. Dan ia disebutkan dengan sanad bersambung dan shahih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari di dalam kitab Tahdzîb al-Âtsâr.

2. Terdapat perbedaan besar antara menjadikan sesuatu sebagai wasilah dan kemusyrikan. Mengambil wasilah diperintahkan secara syarak. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan (wasilah) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan." (Al-Mâidah [5]: 35).

Allah SWT juga memuji orang yang bertawassul (mencari jalan) kepada-Nya di dalam doa mereka. Allah berfirman,

"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; seungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." (Al-Isrâ` [17]: 57).

Al-Wasîlah secara bahasa artinya al-manzilah (kedudukan), al-washlah (penyambung) dan al-qurbah (kedekatan). Makna penyatunya adalah pendekatan diri kepada Allah dengan semua hal yang disyariatkan-Nya. Termasuk di dalamnya adalah pengagungan terhadap semua yang diagungkan oleh Allah, baik berupa tempat, waktu, sosok manusia dan keadaan. Oleh karena itu, seorang muslim, misalnya, senantiasa berusaha untuk menunaikan salat di Masjidil Haram serta berdoa di makam Nabi saw. dan Multazam sebagai komitmennya untuk senantiasa memuliakan tempat-tempat yang dimuliakan Allah. Orang muslim juga berusaha untuk melakukan salat malam pada malam Lailatul Qadar serta berdoa di waktu-waktu mustajab pada hari Jumat dan pada sepertiga malam terakhir, sebagai pemuliaannya terhadap waktu-waktu yang dimuliakan Allah. Seorang muslim juga mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai para nabi dan orang-orang saleh sebagai pemuliaannya terhadap orang-orang yang dimuliakan Allah. Seorang muslim pun berusaha untuk senantiasa berdoa ketika dalam perjalanan, ketika hujan turun dan sebagainya sebagai pemuliaannya terhadap kondisi yang dimuliakan Allah. Semua itu masuk dalam firman Allah,

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (Al-Hajj [22]: 32).

Sedangkan tindakan kemusyrikan adalah mempersembahkan ibadah kepada selain Allah dengan cara yang tidak sepatutnya dilakukan kecuali untuk Allah. Bahkan walaupun hal itu bertujuan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah,

"Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Alah (berkata), "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengang sedekat-dekatnya." (Az-Zumar [39]: 3).

Kalimat "dengan cara yang tidak sepatutnya dilakukan kecuali untuk Allah", adalah untuk mengeluarkan semua tindakan yang bertentangan dengan ibadah walaupun dinamakan ibadah dan walaupun secara zahirnya sesuai dengan nama ibadah. Karena ad-du'â` (berdoa) terkadang merupakan suatu ibadah yang ditujukan kepada penerima doa (al-mad'û). Allah berfirman,

"Yang mereka sembah (seru) selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka." (An-Nisâ` [4]: 117).

Terkadang ad-du'â` bukan merupakan ibadah,

"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)." (An-Nûr [24]: 63).

As-su`âl (permohonan/permintaan) juga terkadang merupakan ibadah untuk pihak yang diminta,

"Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya." (An-Nisâ` [4]: 32).

Namun terkadang as-su`âl juga bukan merupakan ibadah,

"Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)." (Al-Ma'ârij [70]: 25).

Al-Isti'ânah (meminta pertolongan) terkadang merupakan ibadah untuk pihak yang diminta pertolongannya,

"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (Al-Fâtihah [1]: 5).

Allah juga berfirman,

"Musa berkata kepada kaumnya, "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah." (Al-A'râf [7]: 128).

Terkadang juga meminta pertolongan bukan merupakan ibadah,

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat." (Al-Baqarah [2]: 45).

Kecintaan juga terkadang merupakan ibadah untuk yang dicintai dan terkadang bukan merupakan ibadah. Nabi saw. pernah menggabungkan antara kedua makna itu di dalam sabda beliau,

أَحِبُّوا اللهَ لِماَ يُغْدُوْكُمْ مِنْ نِعَمِهِ، وَأَحِبُّوْنِيْ بِحُبِّ اللهِ، وَأَحِبُّوْا أَهْلَ بَيْتِيْ بِحُبِّيْ

"Cintailah Allah karena berbagai kenikmatan yang Dia limpahkan untuk kalian. Cintailah aku karena kecintaan kepada Allah. Dan cintailah Ahlu Baitku karena kecintaah kepadaku." (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Hakim).

Jadi kemusyrikan hanyalah terjadi pada pengagungan terhadap sesuatu sebagaimana pengagungan terhadap Allah ta'ala. Hal ini sebagaimana firman Allah,

"Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 22).

Juga seperti firman Allah,

"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah." (Al-Baqarah [2]: 165).

Dengan ini menjadi jelas perbedaan antara menjadikan sesuatu sebagai wasilah dan kemusyrikan. Karena dalam menjadikan sesuatu sebagai wasilah, kita mengagungkan apa yang diagungkan oleh Allah, yang berarti merupakan pengagungan karena Allah. Dan pengagungan terhadap sesuatu karena Allah adalah pengangungan kepada Allah sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (Al-Hajj [22]: 32).

Adapun kemusyrikan, ia merupakan pengagungan terhadap sesuatu sebanding dengan pegagungan terhadap Allah atau pengagungan kepada selain Allah. Oleh karena itulah sujud para malaikat kepada Adam a.s. merupakan bentuk keimanan kepada Allah dan pengesaan kepada-Nya. Sedangkan sujud orang-orang musyrik kepada berhala adalah bentuk kekafiran dan kemusyrikan, padahal kedua obyek sujud tersebut adalah sama-sama makhluk. Akan tetapi ketika sujud para malaikat kepada Adam a.s. merupakan pengagungan kepada apa yang diagungkan oleh Allah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, maka itu merupakan wasilah yang dibolehkan dan pelakunya berhak mendapatkan pahala. Sedangkan karena sujud orang-orang musyrik kepada berhala merupakan pengagungan kepada makhluk seperti pengagungan kepada Allah, maka itu adalah kemusyrikan yang tercela yang pelakunya pantas mendapatkan siksa.
Berdasarkan perbedaan mendasar antara menjadikan sesuatu sebagai wasilah dengan kemusyrikan ini, para ulama menyatakan kebolehan untuk bersumpah dengan sesuatu yang diagungkan dalam syariat, seperti Nabi saw., agama Islam dan Ka'bah. Di antara ulama yang membolehkan adalah Imam Ahmad rahimahullah dalam salah satu pendapatnya. Beliau membolehkan bersumpah dengan Nabi saw., dengan alasan bahwa Nabi saw. merupakan salah satu dari dua rukun syahadat. Syahadat sendiri tidak akan sempurna kecuali dengannya. Di samping itu, di dalam sumpah dengan Nabi saw. juga tidak terdapat unsur penyamaan diri Nabi saw. dengan Allah, akan tetapi pengagungan terhadap beliau adalah karena pengagungan kepada Allah. Sedangkan jumhur ulama berpendapat dilarangnya bersumpah dengan Nabi saw. berdasarkan makna eksplisit dari keumuman larangan untuk bersumpah dengan selain Allah.

Dalam penjelasan alasan dan tarjih pendapat yang pertama –yang membolehkan bersumpah dengan Nabi saw.--, Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, "Para ulama berbeda pendapat tentang makna larangan bersumpah dengan selain Allah. Satu kelompok berpendapat larangan itu khusus untuk sumpah-sumpah yang digunakan oleh orang-orang jahiliyah untuk mengagungkan selain Allah ta'ala, seperti al-Lata dan Uzza serta para leluhur. Orang yang bersumpah dengan hal-hal tersebut mendapatkan dosa dan tidak ada kafarah untuk menebusnya. Adapun sumpah dengan sesuatu yang berujung pada pengagungan terhadap Allah, seperti sumpah orang-orang yang berkata, "Demi hak Nabi", "Demi Islam", "Demi ibadah haji", "Demi Umrah", "Demi ibadah kurban", "Demi sedekah", "Demi pembebasan budak", dan sejenisnya yang dimaksudkan untuk mengagungkan Allah dan mendekatkan diri kepadanya, maka semua itu tidak masuk ke dalam larangan tersebut. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Ubaid dan sejumlah ulama yang kami temui. Mereka berhujjah dengan riwayat dari para sahabat yang mewajibkan orang yang bersumpah dengan pembebasan budak, kurban dan sedekah untuk melakukan apa yang dia sumpahi, padahal mereka mengetahui adanya larangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa menurut mereka larangan tersebut tidak bersifat umum. Karena sendainya larangan itu bersifat umum, tentu para sahabat melarang penggunaan sumpah tersebut dan tidak mengharuskan orang yang bersumpah untuk melaksanakan sumpah mereka." Demikian paparan Ibnu al-Mundzir sebagaimana diinukil oleh al-Hâfidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî.

Jika setelah itu terjadi perbedaan pendapat tentang beberapa bentuk wasilah, seperti tawassul dengan orang-orang saleh dan berdoa di kubur mereka, atau terjadi kesalahan dari sebagian kaum muslimin dalam bertawassul dengan melakukan hal-hal yang tidak disyariatkan, seperti sujud ke kuburan atau berkeliling mengitarinya, maka kita tidak boleh memindahkan kesalahan ini atau perbedaan pendapat tersebut dari lingkup permasalahan wasilah ke dalam lingkup kemusyrikan dan kekafiran. Jika kita melakukan hal ini, maka kita telah mencampuradukkan antar berbagai perkara dan menjadikan pengagungan terhadap makhluk karena Allah (at-ta'zhîm billâh) seperti pengagungan kepada makhluk yang disejajarkan dengan pengagungan kepada Allah (at-ta'zhîm ma'al-Lâh). Padahal Allah telah berfirman,

"Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian), bagaimana kamu mengambil keputusan?" (Al-Qalam [68]: 35-36).

3. Terdapat perbedaan antara meyakini sesuatu sebagai sebab dan antara meyakininya sebagai pencipta dan mempunyai pengaruh dengan sendirinya. Ini sama persis dengan apa yang kami contohkan dalam poin pertama, yaitu tentang keyakinan orang muslim bahwa Isa al-Masih a.s. merupakan sebab dari hidupnya kembali orang yang telah mati dengan seizin Allah, berhadapan dengan keyakinan orang Kristen bahwa Isa a.s. melakukan hal itu dengan kemampuannya sendiri. Jika kita melihat seorang muslim memohon kepada selain Allah, meminta pertolongannya, mengharapkan manfaat darinya atau memohon dijauhkan dari bahaya, maka kita wajib memahami bahwa apa yang dilakukan orang muslim itu adalah menjadikan makhluk tempatnya memohon itu sebagai sebab (perantara) terkabulnya permintaannya, bukan yang mengabulkan permintaan itu sendiri. Karena kita tahu bahwa setiap muslim meyakini bahwa hanya Allah-lah yang mampu mendatangkan manfaat dan kerugian, tapi terdapat mahluk-makhluk Allah yang dapat juga mendatangkan manfaat dan kerugian dengan seizin Allah. Setelah itu yang perlu dibahas lagi adalah tentang bisa tidaknya sesosok makhluk tertentu menjadi sebab (perantara).

    Setelah pemaparan ketiga kaidah dasar di atas, maka kita akan menerapkannya dalam masalah hukum berkeliling mengitari kuburan ini. Sekarang kita telah mengetahui bahwa kita sedang membicarakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Kita juga telah mengetahui bahwa ziarah ke kuburan-kuburan yang mereka lakukan itu berdasarkan keyakinan bahwa orang-orang yang dikubur di dalamnya adalah orang-orang saleh dan dekat dengan Allah. Kita juga mengetahui bahwa mereka meyakini ziarah kubur merupakan amal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjadi wasilah kepada Allah. Kita juga mengetahui bahwa permasalahan ini berkaitan dengan hukum boleh tidaknya beberapa perbuatan yang dilakukan sebagian muslim dan bahwa sebagian perbuatan mereka merupakan masalah yang masih menjadi obyek perselisihan para ulama, sedangkan sebagian lainnya adalah kesalahan murni yang tidak diperselisihkan lagi. Jika kita telah mengetahui semua hal ini, maka menjadi jelas bagi kita bahwa tidak ada alasan sama sekali untuk memvonis perbuatan kaum muslimin itu sebagai tindakan kemusyrikan dan kekafiran. Yang ada hanyalah perbedaan dalam hukum beberapa jenis wasilah serta kesalahan murni dalam menjadikan beberapa hal sebagai wasilah. Semua ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengafirkan orang yang keislamannya telah terbukti dengan benar.

    Setelah mengkaji pendapat para ulama tentang hukum berkeliling mengitari kuburan, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat mereka berkisar antara keharaman dan kemakruhan. Maksudnya di antara mereka ada yang berpendapat bahwa mengelilingi kuburan merupakan wasilah yang diharamkan yang pelakunya berdosa. Dan ada sebagian yang lain berpendapat bahwa seorang muslim dianjurkan untuk tidak melakukan hal itu, akan tetapi jika ia melakukannya maka tidak ada sangsi baginya.

    Pendapat yang memakruhkannya adalah yang menjadi pegangan dalam mazhab Hambali, sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasysyâf al-Qinâ' karya al-Allamah al-Buhuti, Penutup Para Muhaqqiq dalam Mazhab Hambali. Sedangkan pendapat yang mengharamkan adalah pendapat jumhur ulama, dan inilah yang difatwakan.

    Adapun vonis kemusyrikan dan kekafiran, maka tidak ada alasan untuk menerapkannya dalam masalah ini. Kecuali jika orang yang mengitari kuburan itu benar-benar bermaksud menyembah orang yang ada dalam kuburan, atau meyakini bahwa pemilik kuburan itu dapat mendatangkan manfaat dan kerugian dengan sendirinya, dan meyakini bahwa mengitari kuburan adalah ibadah yang disyariatkan oleh Allah sebagaimana thawaf di Baitullah. Namun semua ini hanyalah kemungkinan-kemungkinan yang tidak akan digunakan oleh orang yang berilmu untuk menghukumi perbuatan orang muslim, sebagaimana telah dipaparkan. Hal ini karena bentuk masalah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah orang muslim yang berkeliling mengitari kuburan saja, tanpa dikaitkan dengan masalah yang lain, seperti niat penyembahan terhadap penghuni kuburan dan lain sebagainya.

    Orang-orang muslim juga tidak sepatutnya menyibukkan diri dengan masalah-masalah seperti ini dan menjadikannya sebagai isu untuk menyerang pelakunya dengan kata-kata kasar, karena itu merupakan jihad yang tidak pada tempatnya. Hal itu juga merupakan penyebab terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam dan terceraiberainya usaha yang telah dilakukan, sehingga membuat kita tidak sempat membangun dan menyatukan umat.

    Semoga Allah menyatukan hati umat muslim berdasarkan Alquran dan Sunnah serta memberikan pemahaman yang baik mengenai agaman-Nya dan pengetahuan tentang maksud Allah dari penciptaan-Nya. Amin.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=302&LangID=5
FB Comments
0 Blogger Comments

0 comments:

Posting Komentar

Home