Mentalkin Mayit dan Memberi Nasehat di atas Kuburan serta Hukum Menutup Keranda

Lembaga Fatwa Mesir
Pertanyaan

Memperhatikan permohonan fatwa nomor 531 tahun 2006 yang berisi:

Apa hukum mentalkin mayit setelah dikuburkan? Apakah boleh memberikan ceramah atau nasehat serta berdoa di atas kuburan setelah selesai acara pemakaman? Apakah menutup keranda adalah dibolehkan?

Jawaban (Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad)


    Setelah menguburkan jenazah, disunahkan bagi orang-orang yang mengantar jenazah tersebut untuk berdiam sejenak di sisi kuburannya guna mendoakannya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim –dan dia menyatakan bahwa hadits ini adalah shahih sanadnya– dari Utsman r.a., dia berkata, "Nabi saw. jika selesai menguburkan jenazah beliau berdiri sejenak dan berkata, 

اسْتَغفِرُوا لأَخِيْكُمْ وَسَلُوْا لَهُ التَّثبِيْتَ؛ فَإِنَّهُ اْلآنَ يُسْأَلُ
    "Mohonlah ampunan bagi saudara kalian dan mintalah keteguhan untuknya, karena dia sekarang sedang ditanya."

    Imam Muslim meriwayatkan dari 'Amr bin Ash r.a., dia berkata: "Jika kalian telah selesai menguburkanku, maka lemparkan sedikit tanah ke kuburanku dan tetaplah berada di sekitarnya selama waktu orang menyembelih unta dan membagikan dagingnya, sehingga aku dapat menjadikan kalian sebagai penenangku dan melihat apa yang akan aku sampaikan kepada para utusan Tuhanku." Perbuatan ini dilakukan setelah selesai menguburkan jenazah.

    Sebelum melakukan doa, tidak apa-apa disampaikan nasehat singkat mengenai kematian dan kehidupan akhirat. Karena, hal itu dapat membuat jiwa orang-orang yang hadir menjadi lebih khusyuk dan lebih siap untuk bermunajat kepada Allah. Diriwayatkan dari Ali karramallahu wajhah, dia berkata, "Pada suatu hari kami menghadiri pemakaman jenazah di Baqi' Gharqad. Lalu Nabi saw. datang dan duduk dan kami pun duduk di sekitar beliau. Ketika itu beliau memegang sebuah tongkat pendek. Beliau menunduk dan mematuk-matukkan ujung tongkat pendek itu ke tanah. Beliau lalu bersabda,

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوْسَةٍ إِلاَّ كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلاَّ قَدْ كُتِبَ شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً
    "Tidak ada seorangpun dari kalian, tidaklah ada jiwa yang diciptakan, kecuali telah ditetapkan tempatnya di surga atau di neraka, dan telah ditetapkan sebagai orang celaka atau bahagia."

    Lalu seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau begitu apa tidak sebaiknya kita berserah diri pada ketetapan itu?".

Beliau menjawab,

اِعْمَلُوْا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
    "Beramallah, karena setiap orang dimudahkan untuk melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang untuknya dia diciptakan". (Muttafaq Alaih).

    Adapun mentalkin mayat setelah dikuburkan maka ia merupakan perbuatan yang disunahkan. Hal itu sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Rasyid bin Sa'ad, Dhamrah bin Habib dan Hakim bin Umair –mereka adalah tokoh tabi'in yang tinggal di kota Homs (sekarang terletak di Suriah), bahwa mereka berkata, "Jika seorang mayat telah dikuburkan dan orang-orang telah selesai melakukan proses penguburan itu, para ulama menganjurkan untuk mentalkin mayat tersebut dengan mengatakan, "Wahai Fulan, ucapkanlah, "lâ ilâha illallâh, dan bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah." Perkataan ini diucapkan sebanyak tiga kali. Lalu diucapkan lagi, "Wahai Fulan, katakanlah bahwa tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan nabiku adalah Muhammad saw.." Setelah itu baru meninggalkan tempat penguburan itu." (HR. Said bin Manshur dalam Sunannya).

    Diriwayatkan pula dari Abu Umamah al-Bahili r.a., dia berkata, "Jika aku meninggal, maka perlakukanlah diriku seperti apa yang diperintahkan Rasulullah saw. kepada kami dalam mengurus jenazah. Rasulullah saw. mengatakan kepada kami,

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثًمَّ لْيَقُلْ: يَا فُـلاَنَ بْنَ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ، ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بْنَ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنَ بْنَ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمُكَ اللهُ، وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا؛ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُـهُ، وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ نبَِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا. فإنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ بِيَـدِ صَاحِبِهِ وَيَقُوْلُ: انْطَلِقْ بِنَا؛ مَا يُقْعِدُناَ عِنْدَ مَنْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ! وَيَكُوْنُ اللهَ تَعَالَى حُجَّتَهُ دُونَهُمَا.
فَقَالَ رَجُلٌ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ! فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قال: يَنْسُبُهُ إلى أُمِّهِ حَوَّاءَ: يَا فُلاَنَ اْبنَ حَوَّاءَ.
    "Jika salah seorang dari saudara kalian meninggal dunia, lalu kalian telah menimbunkan tanah di kuburnya, maka hendaklah salah satu dari kalian duduk bagian kepalanya dan berkata, "Wahai Fulan bin Fulanah." Mayat itu mendengar ucapannya tapi dia tidak menjawab. Lalu orang itu berkata lagi, "Wahai Fulan bin Fulanah." Mayat itu lalu duduk. Kemudian dia berkata lagi, "Wahai Fulan bin Fulanah." Mayat itu lalu berkata, "Berilah petunjuk pada kami, semoga Allah merahmatimu." Namun, kalian semua tidak akan merasakan hal itu. Kemudian hendaklah orang yang mentalkin itu mengatakan, "Ketika kamu meninggalkan dunia, ingatlah syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan bahwasanya kamu ridha menjadikan Allah sebagai tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai nabimu dan Alquran sebagai pemimpinmu." Maka malaikat Munkar dan Nakir akan saling memegang tangan mereka dan berkata, "Marilah kita pergi. Untuk apa kita duduk pada orang yang telah diajarkan hujjahnya." Dan Allah menjadi hujjah baginya dari pertanyaan dua malaikat itu."     Lalu salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana jika ibunya tidak diketahui?" Maka beliau pun menjawab, "Hendaknya dia menisbatkannya pada Hawa. Yaitu dengan mengatakan, "Wahai Fulan bin Hawa." (HR. Thabrani, Ibnu Syahin dan lainnya).

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Sanad hadits ini adalah shalih (baik). Adh-Dhiya` telah menguatkannya dalam kitab Ahkâm-nya."

    Dalam kitab Raudhah ath-Thâlibîn dan al-Majmû', Imam Nawawi berkata, "Para ulama hadits dan yang lainnya sepakat untuk bersikap toleran terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhâil al-a'mâal) dan at-Targhîb wat Tarhîb. Di samping itu hadits ini juga diperkuat dengan hadits-hadits yang shahih. Seperti hadits,

اِسْأَلُوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ
    "Mohonlah agar dia diberi keteguhan."

    Juga dikuatkan dengan wasiat 'Amr bin Ash r.a. Dan hadits di atas serta riwayat dari Amr bin Ash ini adalah shahih. Hal ini senantiasa diamalkan oleh penduduk Syam pada masa orang-orang yang ditauladani hingga saat ini."

    Adapun masalah menutup keranda maka hal itu adalah masalah yang lapang, tidak ada larangan untuk menutupnya atau tidak. Yang menjadi pedoman adalah apa yang dianggap lebih baik untuk mayat itu dan lebih dapat menutup jasadnya.

     Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=418&LangID=5
FB Comments
0 Blogger Comments

0 comments:

Posting Komentar

Home