Karomah Para Wali (كرامات الأولياء) [Bagian 2]


Eksistensi Karomah

Imam an-Nawawi Rohimahulloh [Bustan al-‘Arifin hal. 59-61] mengatakan bahwa madzhab ahlul haq (ahlus sunnah wal jama’ah) menetapkan eksistensi karomah bagi para wali, karomah itu benar terjadi dan tetap ada pada sepanjang masa.

Dalil ‘aqli menetapkan karomah sebagai sesuatu yang mungkin terjadi dan keberadaannya tidak mengakibatkan tercerabutnya dasar-dasar agama. Dengan demikian, karomah termasuk salah satu objek yang berada di bawah kekuasaan (qudroh) Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, dan termasuk peristiwa yang mungkin terjadi (ja’iz al-wuqu’).

Sedangkan dalil naqli yang menegaskan keberadaan karomah terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya adalah ayat yang menggambarkan kisah Maryam, Ibunda nabi Isa ‘Alaihis Salam.

{وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا} [مريم: 25]

“dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”.

Imam al-Haromain Abu al-Ma’ali Rohimahulloh mengatakan bahwa Maryam bukanlah seorang nabi, ia adalah seorang wali perempuan sehingga peristiwa luar biasa yang dialaminya bukan merupakan mu’jizat melainkan karomah.

Diantara dalil yang menegaskan keberadaan karomah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh Rhodhiyallohu ‘Anhu tentang kisah Juraij yang bertanya kepada seorang bayi “siapa bapakmu?”, lalu bayi itu pun menjawab “si fulan, seorang penggembala”.

Syaikh Ibrohim al-Laqqoni [Jauharotut Tauhid bait ke 83] mengatkan:

83 - وَأَثْبِتَنْ لِلأَوْلِيَا الْكَرَامَهْ ... وَمَنْ نَفَاهَا فَانْبِذَنْ كَلاَمَهْ

“dan tetapkanlah keberadaan karomah bagi para wali, buanglah ucapan orang yang memandang ketiadaannya”.

Syaikh Ibrohim al-Baijuri [Tuhfah al-Murid hal. 95] mengatakan bahwa keberadaan karomah bagi para wali adalah sesuatu yang mungkin (ja’iz) menurut hukum akal dan benar-benar terjadi (wuqu’) secara nyata, baik saat wali itu masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Bahkan keberadaan karomah setelah meninggal dipandang lebih utama, mengingat jiwa seseorang telah bersih dari berbagai kotoran.

Mayoritas golongan mu’tazilah memandang karomah sebagai sesuatu yang mustahil, dengan alasan bahwa keberadaannya dapat menimbulkan kesamaran antara nabi dan wali. Di samping itu kejadian luar biasa (khoriq lil ‘adah) yang terjadi pada nabi (mu’jizat) akan menjadi biasa (‘adah) apabila dialami oleh para wali walaupun dengan sebutan karomah.

Pandangan ini ditepis oleh para ulama ahlus sunnah, kesamaran antara nabi dan wali tidak akan terjadi karena mu’jizat disertai dengan pengakuan sebagai nabi sedangkan karomah tidak disertai dengan pengakuan tersebut.

Peristiwa luar biasa juga tidak serta merta berubah menjadi biasa dengan banyaknya persitiwa. [Tuhfah al-Murid hal. 96]. Hal ini dapat dipahami, sebab yang dimaksud “biasa” (‘adah) dan “luar biasa” (khowariq al ‘adah) adalah berlaku tidaknya hukum kausalitas (hukum sebab-akibat), bukan jarang atau seringnya suatu peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang terjadi berdasarkan hukum kausalitas seperti persistiwa yang sering kita saksikan dan kita jalani sehari-hari dinamakan ‘adah. Sedangkan peristiwa yang di dalamnya tidak berlaku hukum kausalitas, walaupun sering terjadi tetap disebut khowariq lil ‘adah.

(Bersambung ...)
FB Comments
2 Blogger Comments

2 comments:

aerull mengatakan...

ijin copas ya dan dimana bisa dapatkan kitab sabilil abid sarh jauharoh tauhid tq

Admin mengatakan...

silahkan, untuk kitab sabilil abid saya juga belum tahu di mana mndptkannya.

Posting Komentar

Home