JADWAL KAJIAN RUTIN

Ruang Lingkup Fardhu Kifayah



Tanya:

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Fardhu kifayah itu ruang lingkupnya apakah satu kampung, satu desa atau gimana? Mohon jawabannya, syukron.

(Seorang sahabat dari Balekambang Kec. Setu)

Jawab:

Wa'alaikum salam Wr. Wb.

Cakupan fardhu kifayah bergantung pada mahkum alaih (mukallaf), yaitu orang-orang yang terbebani oleh hukum. Misalnya kewajiban kifayah menghidupkan ka'bah dengan ibadah (ihya' al-ka'bah) jatuh kepada seluruh muslim mukallaf di seluruh penjuru dunia dengan syarat istitho'ah. Menyelenggarakan pengurusan jenazah (tajhizul janazah) fardhu kifayah bagi semua orang yang mengetahui adanya kematian dan orang yang tidak tahu karena keteledoran.

Cakupan fardhu kifayah biasanya dijelaskan oleh ulama pada setiap pembahasan perbuatan mukallaf (mahkum fih) yang hukumnya fardhu kifayah.

والله اعلم بالصواب
ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
مراجع:
شرح متن الورقات في أصول الفقه – عبد الكريم الخضير - ج 2 / ص 14
شرح مختصر الروضة - ج 2 / ص 405
عبد الوهاب خلاف - علم أصول الفقه - ج 1 / ص 134
إعانة الطالبين - ج 2 / ص 280

Foto Ulama

Hadrotusy Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari


Dr. K.H. M.A. Sahal Mahfuzh

Habib Luthfi Yahya

 Habib Munzir al-Musawa

K.H. Ma'ruf Amin

K.H. Masduki

 K.H. Ali Mustofa Ya'kub

Foto Ulama

K.H. Ma'mun Nawawi (Alm)
[Pendiri Pesantren Albaqiyatush Sholihat, Cibogo - Cibarusah - Bekasi]


Abuya K.H. Ahmad Damiri (wafat 1997)
[Pendiri Pesantren Darush Showab, Babakan Ciawi - Serang Baru - Bekasi]


K.H. Hambali Ahmad (wafat 2001)
[Pengasuh Pesantren Darush Showab]

Foto Ulama

Prof, Dr. Ali Jum'ah

Prof. Dr. Wahbah Zuhaili


Dr. Sa'id Ramadhan al-Bouti

Habib Umar al-Hafizh


Habib Ali al-Jufri

Sorogan dan Setoran

kegiatan sorogan
Salah satu program unggulan di Pesantren Darush Showab adalah pengajian sorogan dan setoran. Kedua program ini menuntut para santri menguasai kompetensi secara individual. Melalui sorogan, santri diarahkan untuk mampu membaca dan menterjemahkan kitab kuning yang telah ditentukan. Sesuai dengan kajian utama Pesantren Darush Showab, yaitu bidang fiqih, setiap santri diharapkan mampu membaca dan menterjemahkan kitab fiqih, mulai dari kitab Matan Safinah, Matan Ghoyah wa at-Taqrib, Fath al-Qorib sampai Fath al-Mu'in. Kompetensi yang mereka dapatkan melalui sorogan, secara berkala diujikan kepada Ustadz melalui forum setoran.

Fatwa MUI tentang Aborsi


FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
NOMOR : 4 TAHUN 2005 Tentang A B O R S I

Bismillahirrahmaanirrahiim

Majelis Ulama Indonesia, setelah

Menimbang :

bahwa akhir-akhir ini semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama;

bahwa aborsi tersebut banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi sehingga menimbulkan bahaya bagi ibu yang mengandungnya dan bagi masyarakat umumnya;

bahwa aborsi sebagaimana yang tersebut dalam point a dan b telah menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang hukum melakukan aborsi, apakah haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu;

bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan pedoman.

Mengingat :

Firman Allah SWT :

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya). (QS. al-An`am[6]:151).

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa besar." (QS. al-Isra`[17]:31).

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan orang-orang yang berkata: "Ya, Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alas an) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya." (QS. al-Furqan[25]:63-71).

"Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah." (QS. al-Hajj[22]:5)

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (QS: al-Mu`minun[23]:12-14)

"Seseorang dari kamu ditempatkan penciptaannya di dalam perut ibunya dalam selama empat puluh hari, kemudian menjadi `alaqah selama itu pula (40 hari), kemudian menjadi mudhghah selama itu pula (40 hari); kemudian Allah mengutus seorang malaikat lalu diperintahkan empat kalimat (hal), dan dikatakan kepadanya: Tulislah amal, rizki dan ajalnya, serta celaka atau bahagia-(nya); kemudian ditiupkan ruh padanya." (Hadits riwayat Imam al-Bukhari dari `Abdullah).

"Dua orang perempuan suku huzail berkelahi. Lalu satu dari keduanya melemparkan batu kepada yang lain hingga membunuhnya dan (membunuh pula) kandungannya. Kemudian mereka melaporkan kepada Rasulullah. Maka, beliau memutuskan bahwa diat untuk (membunuh) janinnya adalah (memberikan) seorang budak laki-laki atau perempuan." (Hadist muttafaq `alaih –riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim- dari Abu Hurairah; lihat `Abdullah bin`Abdur Rahman al-Bassam, Tawdhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, [Lubnan: Mu`assasah al-Khidamat al-Thiba`iyyah, 1994], juz V, h.185):

"Tidak boleh membahakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain." (Hadist riwayat Ibnu Majah dari `Ubadah bin al-Shamit, Ahmad dari Ibn `Abbas, dan Malik dari Yahya).

Qaidah Fiqih :

"Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan."

"Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan)."

"Hajat terkadang dapat menduduki keadaan darurat."


Memperhatikan :

Pendapat para ulama :

Imam al-Ghazali dari kalangan mazhab Syafi`I dalah Ihya` `Ulum al-Din, tahqiq Sayyid `Imrab (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2004), juz II, hal.67 : jika nutfah (sperma) telah bercampur (ikhtilah) dengan ovum di dalam rahim dan siap menerima kehidupan (isti`dad li-qabul al-hayah), maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinayah).

Ulama Al-Azhar dalam Bayan li-an-Nas min al-Azhar asy-Syarif (t.t.: Mathba`ah al-Mushhaf al-Syarif, t.th.), juz II, h. 256 :

Jika aborsi dilakukan sebelum nafkhi ar-ruh, maka tentang hukumnya terdapat empat pendapat fuqaha`.Pertama, boleh (mubah) secara mutlak, tanpa harus ada alasan medis (`uzur); ini menurut ulama Zaidiyah, sekelompok ulama Hanafi –walaupun sebagian mereka membatasi dengan keharusan adanya alasan medis, sebagian ulama Syafi`i, serta sejumlah ulama Maliki dan Hanbali.Kedua, mubah karena adala alasan medis (`uzur) dan makruh jika tanpa `uzur; ini menurut ulama Hanafi dan sekelompok ulama Syafi`i. Ketiga, makruh secara mutlak; dan ini menurut sebagian ulama Maliki. Keempat,haram; ini menurut pendapat mu`tamad (yang dipedomani) oleh ulama Maliki dan sejalan dengan mazhab Zahiri yang mengharamkan `azl (coitus interruptus); hal itu disebabkan telah adanya kehidupan pada janin yang memungkinkannya tumbuh berkembang.

Jika aborsi dilakukan setelah nafkhi ar-ruh pada janin, maka semua pendapat fuqaha` menunjukkan bahwa aborsi hukumnya dilarang (haram) jika tidak terdapat `uzur; perbuatan itu diancam dengan sanksi pidana manakala janin keluar dalam keadaan mati; dan sanksi tersebut oleh fuqaha` disebut dengan ghurrah.

Syaikh `Athiyyah Shaqr (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar) dalam Ahsan al-Kalam fi al-Taqwa, (al-Qahirah: Dar al-Ghad al-`Arabi, t.th.), juz IV, h. 483:

Jika kehamilan (kandungan) itu akibat zina, dan ulama mazhab Syafi`i membolehkan untuk menggugurkannya, maka menurutku, kebolehan itu berlaku pada (kehamilan akibat) perzinaan yang terpaksa (perkosaan) di mana (si wanita) merasakan penyesalan dan kepedihan hati. Sedangkan dalam kondisi di mana (si wanita atau masyarakat) telah meremehkan harga diri dan tidak (lagi) malu melakukan hubungan seksual yang haram (zina), maka saya berpendapat bahwa aborsi (terhadap kandungan akibat zina) tersebut tidak boleh (haram), karena hal itu dapat mendorong terjadinya kerusakan (perzinaan).

Fatwa Munas MUI No.1/Munas VI/MUI/2000 tentang Aborsi.

Rapat Komis Fatwa MUI, 3 Februari 2005; 10 Rabi`ul Akhir 1426 H/19 Mei 2005 dan 12 Rabi`ul Akhir 1426 H/21 Mei 2005.


Dengan memohon taufiq dan hidayah Allah SWT


MEMUTUSKAN


Menetapkan : FATWA TENTANG ABORSI

Pertama : Ketentuan Umum

Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati.

Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar.

Kedua : Ketentuan Hukum

Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).

Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat.

Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilah yang membolehkan aborsi adalah:

Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.

Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.

Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:

Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.

Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang didalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.

Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.

Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.


Keputusan fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Agar setiap muslim yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.


Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 12 Rabi`ul Akhir 1426 H

21 Mei 2005


MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA,

Ketua
K.H. Ma`ruf Amin

Sekretaris
Hasanudin

Posisi Tangan Saat I'tidal

Oleh: Hasan Basri Hambali


Beberapa pendapat ulama Syafi'iyah mengenai posisi tangan saat i'tidal:

1. Nihayatul Muhtaj - Muhammad Romli

ويسن رفع يديه كما مر في تكبيرة الإحرام مع ابتداء رفع رأسه من ركوعه مبتدئا رفعهما مع ابتداء رفعه ويستمر إلى انتهائه للاتباع رواه الشيخان قائلا في رفعه إلى الاعتدال سمع الله لمن حمده أي تقبل الله منه حمده ....... فإذا انتصب أرسل يديه و قال ربنا لك الحمد أي ربنا استجب لنا ولك الحمد على هدايتك إيانا

2. Roudhatuth Tholibin - an-Nawawi

ويستحب عند الاعتدال رفع اليدين حذو المنكبين على ما تقدم من صفة الرفع ويكون ابتداء رفعهما مع ابتداء رفع الرأس .......... فإذا اعتدل قائما حطهما

3. Mughni Muhtaj – Muhammad Khothib asy-Syarbaini

(ويسن رفع يديه) كما سبق في تكبيرة الإحرام (مع ابتداء رفع رأسه) من الركوع بأن يكون ابتداء رفعهما مع ابتداء رفعه (قائلا) في رفعه إلى الاعتدال (سمع الله لمن حمده) أي تقبل منه حمده وجازاه عليه وقيل غفر له للإتباع رواه الشيخان مع خبر صلوا كما رأيتموني أصلي ........... (فإذا انتصب) أرسل يديه

4. Fathul Aziz – ar-Rofi'i

ويستحب عند الاعتدال رفع اليدين إلي حذو المنكبين فإذا اعتدل قائما حطهما

Dari beberapa literatur di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada saat i'tidal tangan diturunkan ke bawah (irsal), bukan disimpan di bawah dada.

Namun ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa meletakkan tangan di bawah dada adalah tatacara (kaifiyat) yang paling baik. Anggapan tersebut didasarkan pada keterangan dalam kitab Fathul Mu'in – Zainuddin al-Malibari sebagai berikut:
(وسن جزم رائه) ... (ورفع كفيه) ... (بكشف) ... (خذو) ... (منكبيه) ... (مع) ... (تحرم) ...(و) ... (ركوع) ...(ورفع منه) ... (و) ... (من تشهد أول) ... (ووضعهما تحت صدره) وفوق سرته، للاتباع. (آخذا بيمينه) كوع (يساره) وردهما من الرفع إلى تحت الصدر أولى من إرسالهما بالكلية، ثم استئناف رفعهما إلى تحت الصدر


Pada Hasyiyah I'anatuth Tholibin (penjelasan Fathul Mu'in) – Abu Bakar ad-Dimyathi mengutip keterangan Syarh Rhoud:

(قوله أولى من إرسالهما إلخ) أي لما في ذلك من زيادة الحركة قال في شرح الروض بل صرح البغوي بكراهة الإرسال لكنه محمول على من لم يأمن العبث وقوله ثم استئناق هو بالجر معطوف على إرسالهما

Mereka beranggapan bahwa teks di atas berbicara tentang i'tidal, padahal kalau ditelusuri lebih lanjut, teks tersebut membahas posisi tangan setelah takbiratul ihrom. Berikut sebagian teks kitab Syarh Rhouduth Tholib – Zakariya al-Anshori dalam kajian takbiratul ihrom:
(فَرْعٌ وَيُسَنُّ) لِلْمُصَلِّي (رَفْعُ يَدَيْهِ وَلَوْ مُضْطَجِعًا مَعَ التَّكْبِيرِ) لِلْإِحْرَامِ لِلِاتِّبَاعِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ (مُسْتَقْبِلًا بِكَفَّيْهِ) ..... (كَاشِفًا لَهُمَا) ... (مُفَرِّقًا أَصَابِعَهُ) ... (وَسَطًا) ..(حَتَّى يُحَاذِيَ) ... (بِأَطْرَافِهِمَا) ... (أَعْلَى أُذُنَيْهِ وَبِإِبْهَامَيْهِ شَحْمَتَيْهِمَا) ... (وَبِكَفَّيْهِ مَنْكِبَيْهِ) ... (فَإِذَا لَمْ يُمْكِنْ الرَّفْعُ إلَّا بِزِيَادَةٍ) ... (أَوْ نَقْصٍ) ... (أَتَى بِالْمُمْكِنِ) ... (وَأَقْطَعُ الْكَفَّيْنِ يَرْفَعُ سَاعِدَيْهِ وَ الْمِرْفَقَيْنِ عَضُدَيْهِ وَإِنْ قَرَنَ الرَّفْعَ بِالتَّكْبِيرِ فِي الِابْتِدَاءِ كَفَى وَلَوْ لَمْ يَنْتَهِيَا مَعًا فَإِنْ تَرَكَهُ أَتَى بِهِ فِي أَثْنَائِهِ لَا بَعْدَهُ ) لِزَوَالِ سَبَبِهِ وَبَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْهُمَا يَحُطُّ يَدَيْهِ وَلَا يَسْتَدِيمُ الرَّفْعَ كَمَا يُعْلَمُ مِنْ قَوْلِهِ (وَرَدُّهُمَا) مِنْ الرَّفْعِ ( إلَى تَحْتِ الصَّدْرِ أَوْلَى مِنْ الْإِرْسَالِ ) لَهُمَا بِالْكُلِّيَّةِ ثُمَّ اسْتِئْنَاف رَفْعِهِمَا إلَى تَحْتَ الصَّدْرِ
بَلْ صَرَّحَ الْبَغَوِيّ بِكَرَاهَةِ الْإِرْسَالِ لَكِنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَأْمَنْ الْعَبَثَ لِقَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي الْأُمِّ وَالْقَصْدُ مِنْ وَضْعِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى تَسْكِينُ يَدَيْهِ فَإِنْ أَرْسَلَهُمَا بِلَا عَبَثٍ فِلَا بَأْسَ . وَهَذَانِ الْأَمْرَانِ ذَكَرَهُمَا فِي الرَّوْضَةِ وَجْهَيْنِ وَصَحَّحَ مِنْهُمَا الْأَوَّلَ فَفَهِمَ الْمُصَنِّفُ أَنَّ الْخِلَافَ فِي الْأَوْلَوِيَّةِ فَصَرَّحَ بِهَا وَهُوَ قَرِيبٌ

Keterangan ini juga sejalan dengan keterangan Ibnu Hajar dalam al-Minhajul Qowim.

(فاذا فرغ من التحرم) لم يستدم الرفع لكراهته بل (حط يديه) مع انتهاء التكبير كما مر (تحت صدره) وفوق سرته للاتباع فهو اولى من ارسالهما بالكلية ومن ارسالهما ثم ردهما الى تحت الصدر

Kesimpulan:
Hal yang wajib dilakukan saat i'tidal adalah tuma'ninah (السكون بعد حركة). Sedangkan posisi tangan yang paling baik adalah diturunkan (irsal). Adapun meletakkan tangan di bawah dada seperti kaifiyat setelah takbiratul ihrom, adalah pendapat yang tertolak (mardud) sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtaj.

(فإذا انتصب) قائما أرسل يديه وما قيل يجعلهما تحت صدره كالقيام يأتي قريبا رده ......... (و) الصحيح سن (رفع يديه) في جميع القنوت والصلاة والسلام بعده للاتباع وسنده صحيح أو حسن وفارق نحو دعاء الافتتاح والتشهد بأن ليديه وظيفة ثم لا هنا ومنه يعلم رد ما قيل: في السنة في الاعتدال جعل يديه تحت صدره كالقيام

Semoga tulisan ini dapat memberi pencerahan bagi saudara-saudara ku yang menyepelekan – bahkan menghukumi tidak sah shalat bagi – orang yang meng-irsal-kan tangan saat i'tidal. Apabila seseorang melakukan i'tidal disertai dengan tuma'ninah – di mana pun posisi tangannya – maka shalatnya sah.
والله أعلم بالصواب
Home