Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama

MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005

KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
Tentang

PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA

بسم الله الرحمن الرحيم

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M.:

MENIMBANG :

a. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;

b. bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut;

c. bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.

MENGINGAT :

1. Firman Allah swt.:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ ... (آل عمران : 19)

   “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…”. (QS. Ali Imran [3]: 19)

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (الكافرون : 6)

   “Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. al-Kafirun [109] : 6).

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا (الأحزاب: ٣٦)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab [33]: 36).

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ، إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (الممتحنة : ٨-9)

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص: ٧٧)

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. al-
Qashash [28]: 77).

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ (الأنعام : ١١٦)

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (QS. al-An’am [6]: 116).

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : ٧١)

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. al-Mu’minun [23]: 71).

2. Hadis Nabi saw.:

a. Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah s.a.w.:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيُّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ (رواه مسلم).

 “Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka”. (H.R. Muslim).

b. Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang nonmuslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja Abesenia yang bergama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (riwayat Ibn Sa’d dalam al-Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).

c. Nabi saw melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab
adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

MEMPERHATIKAN: Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN : FATWA TENTANG PLURALISME, LIBERALISME, DAN SEKULAR-ISME AGAMA

Pertama : Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan

1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang meng-ajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.

2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

4. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Kedua : Ketentuan Hukum

1. Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.

3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.

4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.


Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Jumadil Akhir 1426 H.
28 J u l i 2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa

Ketua,
Ttd.
K.H. MA’RUF AMIN

Sekretaris,
Ttd.
Drs. H. HASANUDIN, M.Ag

Pimpinan Sidang Pleno

Ketua,
Ttd.
Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB

Sekretaris,
Ttd.
Prof. Dr. H.M. DIN SYAMSUDDIN


Penjelasan TENTANG FATWA
Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama


  • 1. Umat Islam Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada “perang non-fisik” yang disebut ghazwul fikr (perang pemikiran). Perang pemikiran ini berdampak luas terhadap ajaran, kepercayaan dan keberagamaan umat. Adalah paham sekularisme dan liberalisme agama, dua pemikiran yang datang dari Barat, yang akhir-akhir ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam.

  • 2. Sekularisme dan Liberalisme Agama yang telah membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa telah menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan sya’riat Islam; seperti pemikiran tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah (sya’riat) serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata. Penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun ini telah melahirkan pula faham Ibahiyah (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama serta dampak lainnya. Berdasarkan realitas ini, MUI memandang perlu bersikap tegas terhadap berkembangnya pemikiran sekuler dan liberal di Indonesia. Untuk itu, MUI mengeluarkan fatwa tentang sekularisme dan liberalisme agama.

  • 3. Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan liberalisme agama juga berkembang paham pluralisme agama. Pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama. Dalam pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Relativisme agama semacam ini jelas dapat mendangkalkan keyakinan akidah. Hasil dialog antar umat beragama di Indonesia yang dipelopori oleh Prof. DR. H.A. Mukti Ali, tahun 1970-an, paham pluralisme dengan pengertian setuju untuk berbeda (agree in disagreement) serta adanya klaim kebenaran masing-masing agama telah dibelokkan kepada paham sinkretisme (penyampuradukan ajaran agama), bahwa semua agama sama benar dan baik, dan hidup beragama dinisbatkan seperti memakai baju dan boleh berganti-ganti. Paham pluralisme agama seperti ini tanpa banyak mendapat perhatian dari para ulama dan tokoh umat telah disebarkan secara aktif ke tengah umat dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana maksud para penganjurnya. Paham ini juga menyelusup jauh ke pusat-pusat/lembaga pendidikan umat. Itulah sebabnya Munas VII Majelis Ulama Indonesia merasa perlu merespon usul para ulama dari berbagai daerah agar MUI mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulraisme agama sebagai tuntunan dan bimbingan kepada umat untuk tidak mengikuti paham-paham tersebut.

  • 4. Fatwa mengenai Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dibagi menjadi dua bagian, yakni Ketentuan Umum dan Ketentuan Hukum. Kedua bagian tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena secara substansial ketetapan hukum yang disebutkan dalam bagian kedua menunjuk kepada definisi dan pengertian yang disebutkan pada bagian pertama. Definisi dalam fatwa tersebut bersifat empirik, bukan definisi akademis. Dimaksud bersifat empirik adalah bahwa definisi prularisme, liberalisme dan sekularisme agama dalam fatwa ini adalah faham (isme) yang hidup dan dipahami oleh masyarakat sebagaimana diuraikan di atas. Oleh sebab itu, definisi tentang prularisme, liberalisme dan sekularisme agama sebagaimana dirumuskan oleh para ulama peserta Munas VII MUI bukanlah definisi yang mengada-ada, tapi untuk merespon apa yang selama ini telah disebarluaskan oleh para prularisme, liberalisme dan sekularisme agama.

  • Bahkan para penganjur prularisme, liberalisme dan sekularisme agama juga telah bertindak terlalu jauh dengan menganggap bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an (Kitab Suci Umat Islam yang dijamin keotentikannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sudah tidak relevan lagi, seperti larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam sudah tidak relevan lagi (Kompas, 18/11/2002). Mereka juga menganggap bahwa al-Qur’an itu bukanlah firman Allah tetapi hanya merupakan teks biasa seperti halnya teks-teks lainnya, bahkan dianggap sebagai angan-angan teologis (al-khayal al-dini). Misalnya, seperti yang dikemukakan oleh aktifis Islam liberal dalam website mereka yang berbunyi: ”Sebagian besar kaum muslimin meyakini bahwa al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma’nan). Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.” (Website JIL). Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan “aneh” yang mereka kemukakan.

  • Fatwa MUI menegaskan pula bahwa pluralisme agama berbeda dengan pluralitas agama, karena pluralitas agama berarti kemajemukan agama. Banyaknya agama-agama di Indonesia merupakan sebuah kenyataan di mana semua warga negara, termasuk umat Islam Indonesia, harus menerimanya sebagai suatu keniscayaan dan menyikapinya dengan toleransi dan hidup berdampingan secara damai.

  • Pluralitas agama merupakan hukum sejarah (sunnatullah) yang tidak mungkin terelakkan keberadaannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
  • 5. Fatwa MUI tentang pluralisme agama ini dimaksudkan untuk membantah berkembangnya paham relativisme agama, yaitu bahwa kebenaran suatu agama bersifat relatif dan tidak absolut. Fatwa ini justru menegaskan bahwa masing-masing agama dapat mengklaim kebenaran agamanya (claim-truth) sendiri-sendiri tapi tetap berkomitmen saling menghargai satu sama lain dan mewujudkan keharmonisan hubungan antar para pemeluknya.
ـــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.mui.or.id/

Fatwa MUI tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah

KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Majelis Ulama Indonesia,

MENIMBANG:
  • (a) bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;
  • (b) bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;
  • (c) bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H/16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;
  • (d) bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.
MENGINGAT:

1. Firman Allah SWT (Subhanahu wa Ta’ala), antara lain :
  • (QS Yunus [10]: 5) : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…
  • (QS. an-Nisa’ [4]: 59) : Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu.
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w. (shallallahu ‘alaihi wa sallam), antara lain :
  • (H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar) : “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.
  • (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah) : “Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
  • (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah) : “Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”.
3. Qa’idah fiqh: “Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

MEMPERHATIKAN:
  1. Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani.
  2. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.
  3. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Pertama : Fatwa
  1. Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
  2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
  3. Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
  4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Kedua : Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait.

Ditetapkan di : Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424 H / 24 Januari 2004 M

MAJELIS ULAMA INDONESIA,
KOMISI FATWA,

Ketua: KH. Ma’ruf Amin Sekretaris: Hasanudin
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Puasa pada Hari Syak

Lembaga Fatwa Mesir
Pertanyaan

Memperhatikan permohonan fatwa No. 1204 tahun 2007 yang berisi:
Apakah yang dimaksud dengan hari Syak? Mengapa kita dilarang untuk berpuasa pada hari itu?


Jawaban (Dewan Fatwa)

Pertama : Mengenai puasa hari Syak (hari yang diragukan apakah telah masuk Ramadan atau belum, Penj.) terdapat tiga buah hadis yang menjelaskan hal itu.

1. Diriwayatkan dari Shilah bin Zufar, ia berkata, "Pada suatu hari, kami berada di tempat Ammar bin Yasir r.a.. Lalu dihidangkan daging kambing panggang kepada kami. Ammar pun lalu berkata, "Silahkan dimakan." Tapi ada seseorang dari kami yang menjauh dan berkata, "Saya sedang berpuasa." Maka Ammar berkata, "Barang siapa yang berpuasa pada hari ketika orang-orang ragu apakah sudah masuk Bulan Ramadan atau belum (hari Syak), maka ia telah menentang Abu Qasim saw.." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daruquthni dan Hakim. Tirmidzi berkata, "Hadis Ammar adalah hadis hasan shahih. Menurut mayoritas ulama dari kalangan para sahabat dan tabi'in, yang diamalkan adalah hadis ini. Ini juga merupakan pendapat Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Abdullah bin Mubarak, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Mereka menyatakan makruh hukumnya seseorang berpuasa pada hari Syak. Sebagian besar dari mereka memandang bahwa jika seseorang tetap berpuasa pada hari itu, lalu terbukti bahwa hari itu merupakan bulan Ramadan, maka ia tetap wajib mengganti puasanya tersebut pada hari yang lain.").

2. Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ، إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

"Janganlah seseorang dari kalian mendahului Ramadan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali jika bertepatan dengan hari yang di dalamnya seseorang terbiasa melakukan puasa, maka tidak apa-apa baginya untuk berpuasa ketika itu." (HR. Jama'ah. Tirmidzi berkata, "Hadis Abu Hurairah adalah hadis hasan shahih. Menurut para ulama, yang diamalkan adalah hadis ini, yaitu mereka menganggap makruh seseorang yang berpuasa lebih dahulu sebelum masuknya puasa Ramadan karena alasan mengagungkan Ramadan. Tapi jika orang tersebut sudah terbiasa melakukan puasa tertentu lalu puasanya itu bertepatan dengan hari syak, maka ia tidak apa-apa berpuasa pada hari tersebut.").

3. Hadis Abdullah bin Umar r.a. dari Nabi saw., beliau bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ

"Jika kalian melihat hilal [bulan Ramadhan] maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya lagi (hilal bulan Syawal) maka berhentilah berpuasa. Jika hilal tertutup awan dari pandangan kalian maka sempurnakanlah jumlah hari dalam satu bulan untuk bulan itu." (Muttafaq alaih).


Berdasarkan hadis-hadis di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai waktu hari Syak itu. Mayoritas ulama dari kalangan ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat bahwa hari Syak adalah hari ke-30 dari bulan Sya'ban jika tersebar isu di masyarakat bahwa hilal telah terlihat tapi hal itu tidak terbukti, atau ada orang yang bersaksi telah melihatnya namun kesaksiannya tertolak karena kefasikannya dan sejenisnya. Jika tidak tersebar isu di masyarakat mengenai terlihatnya hilal, maka hari itu tidak dianggap sebagai hari Syak meskipun langit tertutup awan. Hal ini berdasarkan hadis Ammar bin Yasir r.a. di atas yang menyatakan, "Hari ketika masyarakat ragu apakah sudah masuk Bulan Ramadan atau belum (hari Syak)", tanpa melihat adanya mendung atau tidak.

Adapun ulama Malikiyah, maka mereka menjadikan standar keraguan (syak) pada ada tidaknya mendung. Sehingga, jika langit terang maka bukan hari Syak, karena jika tidak terlihat hilal maka dipastikan hari itu masih bulan Sya'ban. Para ulama Malikiyah menjadikan sabda Rasulullah saw., "Jika hilal itu tertutup awan dari pandangan kalian maka sempurnakanlah jumlah tiga puluh hari untuk bulan sebelumnya", sebagai tafsir dari hari Syak itu. Namun Ibnu Abdis Salam, salah seorang ulama Malikiyah juga, tidak setuju dengan penafsiran itu. Menurutnya, sabda Rasulullah saw. tersebut –yang maksudnya adalah: "Sempurnakanlah jumlah tiga puluh hari untuk bulan sebelumnya"— menunjukkan bahwa esok pagi dari hari yang tertutup awan dipastikan termasuk bulan Sya'ban.

Para ulama Hambali sependapat dengan jumhur ulama. Hanya saja, dalam pendapat yang kuat, mereka justru berpendapat bahwa terdapatnya awan menafikan hari itu sebagai hari Syak, karena dalam kondisi tersebut, hari itu dianggap sebagai Ramadan. Menurut mereka, hadis yang menyatakan, "Jika kalian melihat hilal [bulan Ramadhan] maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawal) maka berhentilah berpuasa. Jika hilal tertutup awan dari pandangan kalian faqdurû lah," adalah untuk menjelaskan perbedaan antara hukum puasa pada hari yang terang dan puasa pada hari yang tertutup mendung. Sehingga, jika melihat hilal merupakan syarat sah puasa pada hari terang, maka dalam keadaan yang sebaliknya (hari mendung), melihat hilal bukanlah syarat sah puasa. Menurut ulama Hambali, maksud dari sabda Rasulullah saw., "faqdurû lah" adalah persempitlah jumlah bulan itu dan perkirakanlah kemunculan hilal di balik awan. Hal ini guna menyesuaikan dengan pendapat perawi hadis, Abdullah bin Umar, dalam masalah ini.

Terdapatnya beberapa hadis shahih dan tegas yang menafsirkan, "faqdurû lah " dengan menyempurnakan tiga puluh hari untuk bulan Sya'ban, memperkuat pendapat jumhur ulama. Hal itu sebagai pengamalan konsep keharusan mengartikan makna mutlak dengan makna yang terperinci (hamlul muthlaq 'alal muqayyad). Di samping itu, yang lebih tepat menafsirkan Sunnah adalah Sunnah itu sendiri. Karena itulah, banyak para ulama muhaqqiqin dari mazhab Hambali dan Maliki yang sependapat dengan mazhab jumhur ulama. Imam Nawawi, dalam al-Majmû', berkata, "Yang tepat adalah pendapat jumhur ulama. Sedangkan pendapat selain itu adalah tidak benar dan tertolak dengan hadis-hadis yang telah disebutkan."

Sebagian ulama telah menulis kitab mengenai masalah ini, diantaranya adalah Mufti Mekah Syaikh Ibrahim bin Husein bin Biri al-Hanafi (1099 H) yang menulis kitab Izâlat adh-Dhank fî al-Murâd min Yawm asy-Syakk.

Kedua : Hukum berpuasa pada hari Syak. Ada dua keadaan dalam masalah ini:

1. Melakukan puasa dengan niat berpuasa Ramadan karena sikap berhati-hati. Menurut jumhur ulama inilah yang dilarang. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tindakan itu adalah haram dan puasanya tidak sah, sebagaimana pendapat kebanyakan ulama Syafi'iyah. Dan ada pula yang hanya menghukuminya sebagai perbuatan makruh, seperti para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali. Kemudian, menurut Laits bin Sa'ad dan para ulama Hanafiyah, jika ternyata hari itu sudah masuk Ramadan, maka puasanya sah. Tapi, menurut para ulama mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali, puasa tersebut tidak sah.
Menurut ulama Hambali, hukum ini berlaku jika hari sebelumnya tidak tertutup mendung. Adapun jika tertutup mendung, maka dalam pendapat yang kuat, mereka justru mewajibkan berpuasa Ramadan pada hari itu dan bukan menjadikannya sebagai hari Syak. Hal ini guna mengikuti pendapat perawi hadis, Abdullah bin Umar r.a., sebagaimana disinggung di atas. Sedangkan dalam riwayat lainnya dari Imam Ahmad, disebutkan bahwa dia sependapat dengan jumhur. Riwayat kedua ini banyak diambil oleh para ulama muhaqqiqin, disebabkan terdapat banyak riwayat shahih yang secara tegas menjelaskan masalah itu. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi dalam Tanqîh at-Tahqîq, berkata, "Yang ditunjukkan oleh hadis-hadis dalam masalah ini –dan inilah yang sesuai dengan kaidah-kaidah— bahwa bulan apa saja jika tertutup awan, maka jumlah harinya disempurnakan menjadi tiga puluh, baik bulan Sya'ban, Ramadan, ataupun yang lain." Di atas juga telah disebutkan perkataan Imam Nawawi yang serupa.

2. Melakukan puasa bukan dengan niat puasa Ramadan. Jumhur ulama berpendapat bahwa seseorang boleh berpuasa pada hari itu jika bertepatan dengan hari yang di dalamnya dia terbiasa melakukan puasa sunnah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis Abu Hurairah r.a.. Menurut jumhur, masuk dalam kebolehan ini puasa nazar dan puasa untuk mengqadha puasa yang tertinggal. Adapun niat berpuasa secara mutlak (tanpa sebab apapun), maka menurut para ulama Syafi'iyah hukumnya adalah haram, kecuali jika ia telah berpuasa secara terus menerus sejak pertengahan kedua bulan Sya'ban. Namun, ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa puasa itu juga boleh dilakukan.


Beberapa kitab dalam tema ini yang ditulis para ulama, seperti an-Nahyu 'an Shaum Yaumisy-Syakk karya al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi asy-Syafi'i (463 H) dan Shiyâm Yaumisy-Syakk karya al-Hafizh Abu Qasim Abdurrahman bin Mandah al-Hanbali (470 H) yang di dalamnya beliau mempunyai pendapat yang bertentangan dengan pendapat umum dalam mazhab Hambali. Juga kitab Dar`udh-Dhaim wal-Laum fî Shaum Yaumil-Ghaim karya al-Hafizh Abu Faraj Ibn al-Jauzi al-Hanbali (597 H) dan Tahqîqur-Rujhân bi Shaum Yaumisy-Syakk min Ramadhân karya al-'Allamah Mar'i bin Yusuf al-Karmi al-Hanbali (1033).

Ketiga : Hikmah larangan berpuasa pada hari Syak.

Dalam kitab Fathul-Bârî, al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan perbedaan pandangan para ulama mengenai hikmah larangan berpuasa pada hari Syak. Beliau berkata, "Hikmah larangan ini adalah untuk memberikan kekuatan pada tubuh dengan tidak berpuasa, sehingga dapat memulai puasa Ramadan dengan kuat dan semangat. Tapi, hikmah ini perlu ditinjau kembali, karena hadis tentang puasa hari Syak di atas menunjukkan bahwa seseorang boleh berpuasa pada hari syak itu jika ia telah berpuasa tiga atau empat hari sebelumnya. Ada pula yang yang mengatakan bahwa hikmah dari larangan berpuasa ini adalah kekhawatiran tercampurnya antara ibadah sunnah dengan ibadah wajib. Tapi, hikmah ini juga perlu ditinjau kembali, karena puasa pada hari Syak ini dibolehkan bagi seseorang yang terbiasa berpuasa pada hari yang bertepatan dengan hari Syak itu sebagaimana disebutkan dalam hadis. Ada juga yang menyatakan bahwa hukum wajibnya puasa Ramadan dikaitkan dengan melihat hilal, sehingga barang siapa yang mendahului kewajiban itu dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya maka ia telah berusaha menantang hukum ini. Dan hikmah terakhir inilah yang menjadi pegangan."

Hikmah yang dikuatkan oleh al-Hafizh ini akan semakin nampak kebenarannya jika kita memahami metode Islam dalam melihat awal hilal (rukyah). Karena, penguasalah yang berhak memutuskan benar tidaknya kesaksian melihat hilal tersebut (rukyah) –jika rukyah itu tidak bertentangan dengan perhitungan ilmu Falak--. Jika penguasa memutuskan bahwa besok belum masuk bulan baru, maka keputusannya itu menghilangkan perselisihan dalam masalah yang bersifat zhanni (tidak pasti) baik secara lahir maupun batin. Seorang muslim, dalam bingkai keilmuan apapun, tidak pernah dibebani untuk mengetahui hakikat yang sebenarnya dari sesuatu yang bersifat zhanni. Namun, dalam masalah ini sesuatu yang masih bersifat dugaan (belum pasti) diposisikan sebagai sesuatu yang pasti. Dan berpegang pada sesuatu yang kemungkinannya lebih besar adalah sebuah kewajiban dalam beragama. Inilah yang mengajarkan kepada kaum muslimin kekuatan dan keteguhan dalam berpegang pada agama mereka serta bersikap serius dalam ibadah mereka. Hal itu juga membuat mereka lebih berhati-hati agar tidak menjadi korban isu-isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentang terlihatnya hilal dalam satu negara yang dapat menyebabkan kekacauan.

Apabila klaim melihat hilal yang tidak terbukti dengan benar dan keengganan mengikuti kemungkinan terbesar yang telah diputuskan oleh penguasa adalah perbuatan yang menentang Rasulullah saw., maka bagaimana dengan orang yang menyalahi kelompok terbesar (jamaah) umat ini, keluar dari garis ketaatan dan menanam benih perpecahan dengan menyerukan untuk mengikuti rukyat yang tidak dapat dibenarkan secara perhitungan ilmu Falak yang bersifat pasti (qath'i), sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar Islam di zaman ini? Mereka telah menyimpang dari jalan yang benar tanpa argumen dan bukti yang kuat baik dari nash-nash agama maupun dari dalil rasio. Dengan perbuatan itu, mereka telah terperosok dalam dua hal yang dilarang, yaitu memecah-belah umat dan mengikuti rukyat yang tidak benar yang kesalahannya dapat dibuktikan secara pasti. Belum lagi hal itu merupakan sikap tidak serius dan penentangan terhadap Nabi saw..

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=1101&LangID=5

Dzikir pada Malam Idul Fitri dan Idul Adha

Imam an-Nawawi rohimahulloh berkata: Ketahuilah, bahwa disunnatkan menghidupkan dua malam hari raya (idul fitri dan idul adha) dengan berdzikir kepada Alloh Ta'ala, sholat, dan bentuk-bentuk ketaatan yang lain. Dalam hadits dijelaskan:

مَنْ أَحْيا ليلتي العيدين، لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ القُلُوب 
"Barangsiapa menghidupkan dua malam hari raya, maka tidak akan mati hatinya pada hari matinya hati-hati yang lain."

Diriwayatkan dalam hadits yang lain:

مَنْ قَامَ لَيْلَتي العِيدَيْنِ لِلهِ مُحْتَسِباً لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ القُلُوبُ
"Barangsiapa melaksanakan ibadah pada dua malam hari raya karena Alloh, karena mencari ridho Alloh, maka tidak akan mati hatinya pada hari matinya hati-hati yang lain."

Demikianlah sebagaimana diriwayatkan oleh asy-Syafi'i dan Ibnu Majah. Ini adalah hadits dho'if yang diriwayatkan dari Abu Umamah sebagai hadit marfu' dan mawquf. Keduanya adalah hadits dho'if, namun hadits dho'if dapat ditolerensi dalam urusan fadho'il al-a'mal, sebagaimana yang aku jelaskan pada permulaan kitab ini (al-adzkar).

Para ulama berbeda pendapat mengenai kadar minimal dalam menghidupkan malam hari raya. Pendapat yang paling zhohir menyebutkan, bahwa menghidupkan malam hari raya hanya dapat diperoleh dengan mengisi sebagian besar malam dengan ibadah. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan cukup walaupun hanya dengan sesaat.

Takbir pada Malam Hari Raya

Disunnatkan membaca takbir pada idul fitri dan idul adha. Pada hari raya idul fitri, takbir dimulai dari terbitnya matahari sampai imam membaca takbirotul ihrom dalam sholat sunnat idul fitri. Dianjurkan membaca takbir setiap selesai melaksanakan sholat dan dalam keadaan yang lainnya, dan takbir tersebut diperbanyak ketika manusia sudah ramai. Disunnatkan bertakbir ketika berjalan, duduk maupun berbaring, pada saat berada di jalan, masjid, hingga tempat tidur.

Sedangkan pada hari raya idul adha, takbir dimulai setelah sholat shubuh pada hari arfah (tanggal 9 Dzul Hijjah) sampai pelaksanaan sholat ashar pada akhir hari tasyriq (tanggal 13 bulan Dzul Hijjah), setelah sholatashar masih disunnatkan membaca takbir, dan itulah takbir yang terakhir pada idul adha. Ini adalah pendapat paling shohih untuk diamalkan, di samping pendapat-pendapat yang lainnya, baik dalam madzhab Syafi'i maupun madzhab-madzhab yang lain.

Ashhab madzhab Syafi'i mengatakan, bahwa lafazh takbir yang diucapkan adalah allohu akbar (الله أكبر) sebanyak tiga kali berturut-turut, kemudian lafazh ini diulangi sesuai dengan kemauan. Imam asy-Syafi'i rohimahulloh dan ashhabnya yang lain mengatakan, bahwa menambahkan lafazh-lafazh berikut dipandang sebagai hal yang baik, yaitu:

اللهُ أكْبَرُ كَبيراً، والحَمْدُ لِلهِ كَثيراً، وَسُبْحانَ اللهِ بُكْرَةً وأصِيلاً، لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ ، وَلا نعبد إلا إياه مخلصين له الدينَ وَلَوْ كَرِهَ الكافِرُون، لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الأحْزَابَ وَحْدَهُ، لا إِلهَ إِلاَّ الله، واللهُ أكْبَرُ
Sesungguhnya Alloh Maha Besar. Segala puji bagi Alloh, dengan sebanyak-banyaknya pujian. Maha Suci Alloh, pagi dan sore hari. Tidak ada Tuhan selain Alloh, kami tidak menyembah kecuali hanya kepada-Nya, dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya, walaupun dibenci oleh orang-orang kafir. Tidak ada Tuhan selain Alloh, Dia Yang Maha Esa, Dia Maha Benar dalam janji-Nya, Dia menolong hamba-Nya dan mengalahkan musuh-musuh-Nya sendirian. Tidak ada Tuhan selain Alloh, Alloh Maha Besar.

Segolongan ashhab madzhab Syafi'i mengatakan, bahwa boleh membaca takbir sebagaimana yang biasa dibaca, yaitu:

اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ، واللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، ولِلهِ الحَمْدُ
Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar, Tidak ada Tuhan selain Alloh, Alloh Maha Besar, Alloh Maha Besar, segala puji hanya milik Alloh.
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Referensi: al-Adzkar karya Imam an-Nawawiy, halaman 171-172.

Transaksi Melalui Internet

Lembaga Fatwa Mesir
Pertanyaan

Memperhatikan permintaan fatwa No. 2785 tahun 2005 yang berisi:
Apa hukum menggunakan internet sebagai media dalam transaksi jual-beli?



Jawaban (Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad)




Sebagai salah satu media komunikasi internasional, internet tidak berbeda dengan media komunikasi yang lain, seperti telepon, teleks, faksimile dan media-media lainnya. Hukum penggunaan media komunikasi sebagai sarana transaksi jual-beli adalah dibolehkan selama tidak mengandung unsur ketidakjelasan dan penipuan. Internet dapat juga digunakan sebagai penghubung dalam transaksi yaitu sebagai media iklan dan pemasaran barang, selama konsisten terhadap prinsip-prinsip yang telah disebutkan. Begitu juga boleh digunakan sebagai jasa pelayanan, selama memberikan informasi yang sesuai dengan kenyataan.

Dengan demikian, penggunaan internet (jaringan informasi internasional) untuk memperkenalkan suatu barang dan sebagai media yang mempermudah pelaksanaan akad adalah dibolehkan, selama tidak terdapat unsur ketidakjelasan dan penipuan. Begitu juga dibolehkan menggunakannya sebagai alat layanan jasa selama memberikan informasi yang akurat.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=2635&LangID=5

Do'a Agar Bisa Membayar Hutang

Diriwayatkan dari Sayyidina 'Ali rodiyallohu 'anhu, bahwa seorang budak mukatab (budak yang mencicil untuk bisa merdeka) mendatanginya dan berkata, "sesungguhnya aku tidak mampu membayar cicilanku (untuk dapat merdeka), tolonglah aku!" Sayyidina 'Ali berkata, "maukah kamu aku ajarkan beberapa kalimat yang Rosululloh Shollallohu 'alayhi wasallam ajarkan kepadaku, walaupun kamu mempunyai hutang seperti gunung shir, Alloh akan membayarkannya untukmu. Katakanlah:

اللَّهُمَّ اكْفِني بِحَلالِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأغْنِني بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِواكَ
Ya Alloh, cukupkanlah aku dengan rizki-Mu yang halal dari rizki yang haram, cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain diri-Mu. (HR. Tirmidzi)
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Referensi: al-Adzkar, halaman 126-127.

Mengkonsumsi Pil Anti Haid

Lembaga Fatwa Mesir
Pertanyaan

Memperhatikan permintaan fatwa No. 1923 tahun 2003, yang berisi:
Istri saya selalu mengonsumsi obat pencegah hamil sebanyak 21 (dua puluh satu) buah pil setiap bulannya. Lalu dia berhenti menggunakannya sehingga datanglah siklus haidnya. Dia berkeinginan untuk mengonsumsi kembali pil-pil tersebut selama bulan Ramadhan sehingga haidnya terhenti dan dia dapat berpuasa secara penuh. Apakah tindakannya ini dibenarkan dalam agama? Dan apa dalil mengenai hal ini?



Jawaban (Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad)

Darah haid adalah uzur syar'i yang menghalangi seorang wanita untuk melakukan puasa dan shalat. Jika darah ini berhenti secara alami ataupun karena mengkonsumsi obat-obatan, maka tidak ada halangan baginya untuk berpuasa dan melakukan shalat. 

Hal di atas dengan catatan hendaknya pengonsumsian obat-obatan tersebut berdasarkan resep dokter, sehingga tidak menimbulkan efek negatif bagi wanita tersebut. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih, "Tidak boleh membuat kemudaratan bagi diri sendiri ataupun bagi orang lain" (lâ dharara walâ dhirâr).

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Sumber: http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=2552&LangID=5

Do'a Menghadapi Musibah Kecil Maupun Besar

Alloh Subhanahu wata'ala berfirman:

وَبَشِّر الصَّابِرينَ الَّذينَ إذَا أصابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قالُوا إنَّا لِلهِ وَإِنّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهمْ وَرَحْمَةٌ وأولئك هُمُ المُهْتَدُونَ [البقرة: 155، 156]
dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun". Mereka Itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqoroh [2] : 155-156)

Diriwayatkan dari Abu Hurayroh rodhiyallohu 'anhu bahwa Rosululloh Shollallohu 'alayhi wasallam bersabda: hendaklah salah seorang diantara kalian membaca

إِنَّا لِلهِ وَإِنّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ
Sesungguhnya kami adalah milik Alloh, dan kami akan kembali kepada-Nya.

pada setiap perkara, hingga ketika putus tali sendalnya, karena itu termasuk musibah.
ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Referensi: al-Adzkar, halaman 126.


Al-Mawa'izh al-'Ushfuriyyah Bagian 16 : Keutamaan Surat al-Ikhlash

Hadits Keenam belas

Diriwayatkan dari Sayyidina 'Ali karromalloh wajhah bahwa Rosululloh SAW bersabda:

من قرأ قل هو الله أحد إلى آخرها بعد صلاة الفجر عشر مرات لم يصل إليه ذنب في ذلك اليوم وإن جهد الشيطان

Barangsiapa membaca qul huwallohu ahad sampai akhir surat al-Ikhlash sepuluh kali setelah sholat shubuh, maka ia tidak akan sampai kepada perbuatan dosa pada hari itu walaupun setan telah bersusah payah (menggodanya).

Diriwayatkan dari ubay bin Ka'b ra bahwa nabi SAW bersabda:

من قرأ سورة الإخلاص مرة واحدة أعطي من الأجر كمثل أجر مائة شهيد

Barangsiapa membaca surat al-Ikhlash satu kali, maka ia akan diberi pahala seperti seratus orang yang mati syahid.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa Rosululloh SAW bersabda:

من قرأ قل هو الله أحد مرة واحدة فكأنما قرأ ثلث القرآن، ومن قرأها مرتين فكأنما قرأ ثلثي القرآن، ومن قرأها ثلاث مرات فكأنما قرأ القرآن كله، ومن قرأها احدى عشرةمرة بنى الله تعالى له بيتا في الجنة من ياقوتة حمراء

Barangsiapa membaca qulhuwalloh ahad satu kali, seakan-akan ia telah membaca sepertiga al-Qur'an.Barangsiapa membaca qulhuwalloh ahad dua kali, seakan-akan ia telah membaca dua pertiga al-Qur'an. Barangsiapa membaca qulhuwalloh ahad tiga kali, seakan-akan ia telah membaca seluruh al-Qur'an. Barangsiapa membaca qulhuwalloh ahad sebelas kali, maka Alloh akan membangun sebuah rumah baginya di surga yang terbuat dari yaqut merah.

Sebab turunnya surat ini adalah ketika orang-orang kafir Mekkah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "wahai Muhammad, berilah kami gambaran tentang tuhanmu, apakah terbuat ari emas, perak, besi atau tembaga? Karena tuhan-tuhan kami terbuat dari bahan-bahan itu. Nabi SAW menjawab, "aku adalah utusan Alloh, sesungguhnya Alloh tidak menyerupai apapun, dan aku tidak mengatakan apapun tentang Alloh". Lalu Alloh SWT menurunkan surat ini, Alloh berfirman:

قل هو الله أحد. الله الصمد. لم يلد ولم يولد. ولم يكن له كفوا أحد (الإخلاص [112] : 1-4)

Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (al-Ikhlash [112] : 1-4)

Riwayat lain menyebutkan bahwa ketika Nabi Saw. keluar menuju Madinah, orang-orang kafir berkumpul di pintu Dar an-Nadwah, mereka berkata, "barangsiapa yang mampu membawa Muhammad kepada kami baik dalam keadaan hidup maupun mati, akan kami beri hadiah seratus ekor unta bewarna merah ". Kemudian Suroqoh bin Malik berdiri dan berkata, "aku akan membawa Muhammad kepada kalian".

Kemudian Suroqoh keluar dan bertemu dengan Nabi Saw., Suroqoh mengeluarkan pedangnya untuk membunuh Nabi Muhammad Saw. Pada waktu itu tanah tunduk dan patuh kepada perintah Baginda Nabi Saw., dengan perintah beliau, tanah menahan kuda yang ditunggangi Suroqoh hingga kakinya terbenam ke dalam tanah. Suroqoh pun meminta ampun dan mengajak damai kepada Nabi, lalu baginda Nabi berdo'a kepada Alloh dan suroqoh pun selamat.

Selang beberapa saat Suroqoh kembali mengeluarkan pedang hendak membunuh Nabi Saw. Kaki kuda pun kembali terbenam ke dalam tanah dan Suroqoh meminta aman kepada Nabi Saw. Suroqoh berkata, "aku tidak akan melakukan hal ini lagi". Baginda  Nabi Saw. kemudian berdo'a kembali kepada Alloh Swt. dan Suroqoh pun selamat.

Kemudian Suroqoh turun dari kudanya, ia datang menghampiri Nabi Saw. dan duduk di hadapan Baginda Nabi Saw. Suroqoh berkata, "Wahai Rosululloh, beritahu aku siapa sebenarnya Tuhanmu, Dia mempunyai kekuasaan yang hebat seperti ini, apakah Ia terbuat dari emas ataukah perak?" Rosululloh Saw. menundukkan kepalanya dan diam sebentar. Kemudian malaikat Jibril turun dan berkata, "katakanlah olehmu Muhammad, Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (al-Ikhlash [112] : 1-4) Katakanlah, (dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (QS. asy-Syuro [42] : 11).

Kemudian Suroqoh berkata, "wahai Rosululloh, bimbinglah aku untuk memeluk agama Islam!" Maka Nabi Saw. membimbing Suroqoh masuk ke dalam Islam, dan suroqoh pun menjadi muslim yang baik.

ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Referensi: al-Mawa'izh al-'Ushfuriyyah, halaman 15-16.
Home