Membaca Sholawat atau Tarodhdhi dengan Suara Keras

Soal

Apakah hukumnya menyerukan tarodhdhi (membaca rodhiyallohu ‘anhu) atau membaca sholawat dengan suara keras sewaktu khotib menyebutkan nama sahabat atau nama Rosululloh SAW?

Jawab

Membaca sholawat sewaktu khotib menyebutkan nama Rosululloh SAW dengan suara keras itu hukumnya sunnah asalkan tidak keterlaluan, demikian pula membaca tarodhdhi asalkan tidak keras. Apabila keterlaluan membaca sholawat, hukumnya makruh (asalkan tidak menimbulkan tasywisy). Dan apabila menimbulkan tasywisy, hukumnya haram.
Keterangan dalam kitab I’anah ath-tholibin:

ويسن تشميت العاطس والرد عليه ورفع الصوت من غير مبالغة بالصلاة والسلام عليه صلى الله عليه وسلم عند ذكر الخطيب اسمه أو وصفه صلى الله عليه وسلم
(قوله ورفع الصوت) أي ويسن رفع الصوت حال الخطبة (وقوله من غير مبالغة) أما معها فيكره 
(قوله ولا يبعد ندب الترضي عن الصحابة) أي ترضي السامعين عنهم عند ذكر الخطيب أسماءهم (قوله بلا رفع صوت) متعلق ببندب أما مع رفع الصوت فلا يندب لأن فيه تشويشا - إعانة الطالبين في باب سنن الخطبة -


   Disunnatkan mendoakan dan menjawab orang yang bersin. Begitupula pada saat khotib menyebut nama dan mensifati Rosululloh SAW. Disunnatkan membaca sholawat dan salam bagi beliau dengan suara keras asalkan tidak keterlaluan. Yang dimaksud “dengan suara keras” di sini adalah pada saat khutbah berlangsung. Sedang yang dimaksud “asalkan tidak keterlaluan” berarti apabila keterlaluan saat membacanya (sholawat dan salam) hukumnya menjadi makruh.

   Demikian pula disunnatkan membaca tarodhdhi (rodhiyallohu ‘anhu) bagi para pendengar untuk para sahabat Nabi asalkan tidak keras pada saat nama mereka disebut oleh khotib. Namun jika dibaca dengan keras tidaklagi disunnatkan, karena itu mengganggu orang lain (tasywisy).


ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-1
Sumber: Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, hal. 10-11.

Pemandu Khutbah Membaca Sholawat dengan Suara Keras dan Panjang

Soal

Bagaimana apabila seorang pemandu khutbah (protokol khutbah) dengan suara keras membaca sholawat antara dua khutbah? Dan apabila sholawatnya panjang, apakah berarti memutuskan muwalat antara kedua khutbah itu?

Jawab

Membaca sholawat antara dua khutbah dengan suara keras itu adalah bid’ah hasanah, dan dapat pula memutuskan muwalat apabila sholawat itu dianggap panjang menurut kebiasaan (‘urf) dikirakan waktunya cukup untuk dua roka’at.

Keterangan dalam kitab Imam Kurdi ‘ala Bafadhol.

فَعُلِمَ أَنَّ هَذَا أَيْ قِرَاءَةَ الْمرقِيِّ بَيْنَ يَدَيْ الْخَطِيبِ  إلَخْ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ - حاشية الكردي -

   Maka diketahui bahwa bacaan Bilal (pemandu khutbah) antara dua khutbah ….. adalah bid’ah hasanah.

الذي يخل به هنا مِقْدَارُ رَكْعَتَيْنِ بِأَقَلِّ مُجْزِئٍ وَمَا دُونَهُ لَا يُخِلُّ بِالْولَاء - حاشية الكردي -

   Adapun yang dapat merusak (kesinambungan dua khutbah) di sini adalah kira-kira dua roka’at yang sah dan dilakukan secara sangat cepat.

(وولاء) بينهما وبين أركانهما وبينهما وبين الصلاة بأن لا يفصل طويلا عرفا وسيأتي أن اختلال الموالاة بين المجموعتين بفعل ركعتين بل بأقل مجزىء فلا يبعد الضبط بهذا هنا ويكون بيانا للعرف – فتح المعين -

   Dan (harus) ada kesinambungan antara kedua khutbah jum’at dan antara rukun-rukunnya serta antara kedua khutbah tersebut dengan shalatnya, dengan tidak dipisah dalam waktu yang menurut kebiasaan setempat sudah dianggap lama. Selanjutnya, yang merusak kesinambungan (al-muwalah) diantara dua perbuatan diperkirakan selama mengerjakan sholat dua roka’at, atau lebih singkat sedikit, itu sudah mencukupi. Karena itu, dalam hal ini tidak sulit membuat kriteria penjelasan yang sesuai dengan kebiasaan (‘urf).

ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-1
Sumber: Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, hal. 9-10.

Orang Fasik Menjadi Wali Nikah

Soal

Bolehkah seorang yang tidak mengerjakan ibadah sholat menjadi wali nikah anak perempuannya? Apabila tidak boleh, maka siapakah yang berhak menjadi wali pernikahan itu? Hakim ataukah yang lainnya?

Jawab

Seorang fasik karena tidak mengerjakan sholat fardhu atau karena lainnya, menurut madzhab, tidak sah menjadi wali menikahkan anak perempuannya. Tetapi menurut pendapat kedua (al-qowl ats-tsani) sah menjadi wali nikah.

Keterangan sebagaimana tersebut dalam kitab al-Qulyubi ‘ala al-Mahalli Juz III:

لَا وِلَايَةَ لِفَاسِقٍ عَلَى الْمَذْهَبِ قال المحلي: وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يَلِي؛ لِأَنَّ الْفَسَقَةَ لَمْ يُمْنَعُوا مِنْ التَّزْوِيجِ فِي عَصْرِ الْأَوَّلِينَ – القليوبي على المحلي في باب ولاية النكاح الجزء الثالث -

   Menurut madzhab (Syafi’I, yang pertama) orang fasik tidak boleh menjadi wali. Sedang menurut al-Mahalli, pendapat kedua, bahwa orang fasik boleh menjadi wali, karena orang-orang fasik pada masa Islam pertama tidak dilarang untuk mengawinkan.

ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-1
Sumber: Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, hal. 8-9.

Hukum Bayi Tabung


Tanya

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, saya mau tanya, apa hukumnya bayi tabung menurut Islam? Saya butuh penjelasannya dan terima kasih sebelumnya. (Sahabat di Facebook)

Jawab


Wa'alaikumus salam Wr. Wb.

- Apabila mani (sperma/ovum) yang ditabung dan dimasukkan ke dalam rahim wanita tersebut bukan mani suami istri, maka hukumnya haram.

- Apabila mani (sperma/ovum) yang ditabung tersebut mani suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtarom, maka hukumnya juga haram.

- Apabila mani (sperma/ovum) yang ditabung itu mani suami istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtarom, maka hukumnya boleh.

Keterangan: Mani muhtarom adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh agama (syara’).

Walloh a’lam bish showab

Referensi: Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika ِِAktual Hukum Islam, hal. 352.

Sejarah Thoriqoh Shufiyyah


Thoriqoh adalah salah satu amaliyah keagamaan dalam Islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, perilaku kehidupan beliau sehari-hari adalah paktek kehidupan rohani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh dari generasi ke generasi sampai kita sekarang.

Lihat saja, misalnya hadist yang meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum Muslimin telah memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin Khatthab RA. berkunjung ke rumah Rosulullah SAW. Ketika dia telah masuk didalamnya, dia tertegun melihat isi rumah Beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk  berwudlu’. Keharuan muncul di hati Umar RA. yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang.

Maka kemudian Rosulullah SAW. menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?” Umar pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rosulullah!... Hanya seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal ditangan tuan telah tergenggam kunci Dunia Timur dan Dunia Barat, dan kemakmuran telah melimpah. Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini adalah Rosul (utusan) Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kisra dari Persia.

Mereka hanyalah mengejar duniawi, sementara aku mengutamakan ukhrawi (akhirat). ”Suatu hari Malaikat Jibril AS. datang kepada Nabi SAW. setelah menyampaikan salam dari Allah SWT, dia bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya seperti Sulaiman AS atau menjadi Nabi yang papa seperti Ayub AS.?” Beliau menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari".

Disaat kenyang, aku bisa bersyukur kepada Allah SWT. dan disana lapar aku bisa  bersabar dengan ujian Allah SWT. ”Bahkan suatu hari Rosulullah SAW. pernah bertanya kepada  sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rosulullah SAW..” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan berkelahi sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan bermusuhan dengan sebagian yang lainnya.

Jumlah kalian banyak tetapi kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa begitu ya Rosulullah.” Lalu Nabi SAW. segera menjawabnya: ”Karena pada saat itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian! ”Apa yang dinyatakan oleh Rosulullah SAW. tersebut bukanlah ramalan, karena beliau pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughayyabat (peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu daya dunia.

Sepeninggal Nabi pun, ternyata apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar terjadi di separoh terakhir masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan.

Dan akhirnya berujung pada munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah dan Zuhhad. Hanya saja ada perbedaan diantara mereka, kedua golongan yang pertama memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan, sementara golongan terakhir untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.

Meskipun saat itu Daulah Bani Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya mengalami kehancuran. Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah Bani Abasyiyah. Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan mereka sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. di atas. Semua itu dikarenakan faktor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriyah/duniawi, sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami kegersangan.

Inilah yang menjadi motifasi golongan Zuhhad yang gerakan-gerakannya untuk mengajak kembali kepada ajaran Islam yang benar untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.  Gerakan yang muncul di akhir abad ke 6 (enam) hijriyyah ini, pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT., agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi).

Karenanya, pada saat itu mereka lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud), ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya, melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah SWT.

Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah, sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh” yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi.

Pada saat itu disebut “Thoriqoh Shufiyyah” (metode orang-orang Shufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan “Thoriqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan pikiran). Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Isilah “thoriqoh“ terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang Mursyid kepada muridnya.

Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata “thoriqoh”. Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh Shufi didalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan utamanya, yaitu Allah SWT. dan ridlo-Nya. Ada yang menggunakan metode latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthma’inah, lalu ke nafsu mulhamah, kemudian  ke tingkat nafsu rodliyah, lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke nafsu kamaliyyah. Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat Allah SWT. dalam keadaan apapun.

Dari perbedaan metode itulah, akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah, Dasuqiyyah/Barhamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.

Nasab Baginda Nabi Muhammad SAW


Nasab (garis keturunan) Nabi Besar Muhammad Shollalloh ‘Alayh Wasallam dari jalur ayahnya:

Muhammad Shollalloh ‘Alayh Wasallam bin Abdulloh bin Abdul Muththolib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushoy bin Kilab bin Murroh bin Ka’b bin lu’ay bin Gholib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaymah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhor bin Nizar bin  Ma’add bin Adnan.


Garis keturunan Baginda Nabi Shollalloh ‘Alayh Wasallam sampai ‘Adnan keberadaannya disepakati oleh para ulama dan termasuk hal yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Adapun dari ‘Adnan sampai kepada Nabi Adam ‘Alayhis Salam tidak ada riwayat yang shohih, sehingga para ulama ahli nasab berbeda-beda pendapat. Diantara riwayat-riwayat tersebut dikemukakan oleh al-Iroqiy dalam Alfiyah as-Siroh sebagai berikut:


Adnan bin Udd bin Udad bin Muqowwam bin Nahur bin Tayroh bin Ya’rub bin Yasyjub bin Nabit bin Isma’il ‘Alayhis Salam bin Ibrohim ‘Alayhis Salam bin Taroh (Azar) bin Nahur bin Syarukh bin Arghu bin Falakh bin Aybar bin Syalakh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh bin Lamik bin Mattusyalkh bin Khonukh bin Yard bin Mahlayil bin Qoynan bin Yanasy bin Syits ‘Alayhis Salam bin Adam ‘Alayhis Salam.

Nasab (garis keturunan) Nabi Besar Muhammad Shollalloh ‘Alayh Wasallam dari jalur ibunya:

Muhammad Shollalloh ‘Alayh Wasallam bin Aminah binti Wahb bin 'Abd Manaf bin Zuhroh bin Kilab. Nasab baginda Nabi Shollalloh 'Alayh Wasallam dari jalur ayahnya 'Abdulloh dan ibunya Aminah bertemu pada Kilab. 

Walloh a'lam bi ash-showab

Referensi:
1. Kifayah al-'Awam, hal. 80-82
2. al-Fushul fi as-Siroh, hal. 88.

Hukum Bermadzhab

Soal:

Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab?

Jawab:

Pada masa sekarang wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab yang tersohor dan aliran madzhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan). Empat madzhab itu ialah:
a. Madzhab Hanafi
    Yaitu madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu'man bin Tsabit, (lahir di Kufah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun 150 H.)
b. Mazhab Maliki
    Yaitu madzhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah pada tahun 90 H. dan meninggal pada tahun 179 H.)
c. Madzhab Syafi'i
    Yaitu madzhab Imam Abu 'Abdillah bin Idris bin Syafi'i, (lahir di Gazza pada tahun 150 H. dan meninggal pada tahun 204 H.)
d. Madzhab Hambali
    Yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada tahun 164 H. dan meninggal pada tahun 204 H.)

Keterangan, dari kitab al-Mizan al-Sya'roni, Fatawa Kubro dan Nihayatus Saul:

كان سيدي علي الخواص رحمه الله إذا سأله إنسان عن التقليد بمذهب معين الآن هل هو واجب أو لا. يقول له يجب عليك التقليد بمذهب ما دمت لم تصل إلى شهود عين الشريعة الأولى خوفا من الوقوع في الضلال وعليه عمل الناس الآن - الميزان الشعراني

     Jika tuanku yang mulia 'Ali al-Khowash r.h. ditanya oleh seseorang tentang mengikuti madzhab tertentu sekarang ini, apakah wajib atau tidak? Beliau berkata: "Anda harus mengikuti suatu madzhab selama anda belum sampai mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan"..... (al-Mizan, al-Sya'roni)

بِأَنَّ التَّقْلِيدَ مُتَعَيِّنٌ لِلْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ فَقَطْ قَالَ لِأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ انْتَشَرَتْ حَتَّى ظَهَرَ تَقْيِيدُ مُطْلَقِهَا وَتَخْصِيصُ عَامِّهَا بِخِلَافِ غَيْرِهِمْ

     Sesungguhnya bertaqlid (mengikuti suatu madzhab) itu tertentu kepada imam yang empat (Maliki, Syafi'i, Hanafi dan Hambali), karena madzhab-madzhab mereka telah tersebar luas sehingga nampak jelas pembatasan hukum yang bersifat mutlak dan pengecualian hukum yang bersifat umum, berbeda dengan madzhab yang lain. (Fatawa Kubro)

قال صلى الله عليه وسلم "اتبعوا السواد الاعظم" ولما اندرست المذاهب الحقة بانقراض ائمتها الا المذاهب الاربعة التي انتشرت اتباعها كان اتباعها اتباعا للسواد الاعظم والخروج عنها خروجا عن السواد الاعظم - سلم الاصول شرح نهاية السول، الجزء الرابع

     Nabi Saw. bersabda: "Ikutilah mayoritas (umat Islam)". Dan ketika madzhab-madzhab yang benar telah tiada, dengan wafatnya para imamnya, kecuali empat madzhab yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti madzhab empat tersebut berarti mengikuti mayoritas, dan keluar dari madzhab empat tersebut berarti keluar dari mayoritas.

ــــــــــــــــــــــــــــــــ
Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-1
Sumber: Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, hal. 2-3.

Mengenal Kitab Jauharoh at-Tauhid (جوهرة التوحيد)


Jauharoh at-Tauhid (جوهرة التوحيد) adalah salah satu karya asy-Syaikh al-Imam Ibrohim al-Laqqoni (w. 1041 H / 1632 M) yang paling terkenal dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain. Nama lengkap Imam al-Laqqoni adalah Ibrohim bin Ibrohim bin Hasan bin 'Ali bin 'Abdul Quddus bin Muhammad (seorang wali yang terkenal) bin Harun al-Laqqoni al-Maliki al-Mishri.

Kitab tauhid yang berbentuk nazhm ini memuat aqidah islamiyyah dengan mengikuti manhaj Asya'iroh (Asy'ariyyah), yaitu salah satu manhaj ahlus sunnah wal jama'ah (selain maturidiyyah) yang disandarkan kepada Abul Hasan al-Asy'ari rohimahulloh (w. 324 H/936 M). Imam al-Laqqoni menyusun kitab ini dalam satu malam berdasarkan isyaroh dari gurunya Abul 'Abbas asy-Syarnubi.

Asy'ariyyah dan Maturidiyyah adalah faham aqidah yang sering disebut dengan ahlus sunnah wal jama'ah. Kedua golongan ini dianut oleh sebagian besar masyarakat muslim dunia khususnya di Indonesia, karena kesesuaiannya dengan manhaj salaf ash-sholih (sahabat, tabi'in dan tabi' at-tabi'in) yaitu mendasarkan setiap keyakinan dalam bidang tauhid kepada dalil naqli (al-Qur'an dan as-sunnah) sebagai sumber ajaran Islam. Di samping itu para ulama Asy'ariyyah menambahkan dalil-dalil 'aqli untuk memperkuat dalil naqli tersebut. Hal ini memang tidak dilakukan oleh ulama salaf, mereka hanya menggunakan dalil naqli dalam menetapkan aqidah islamiyyah. Keberadaan dalil naqli dipandang sebagai hal yang penting dengan dasar istihsan menyusul bermunculannya sekte-sekte (firqoh) dalam bidang aqidah, seperti mu'tazilah dan ahli filsafat (falasifah).

Berikut beberapa syarh kitab Jauharoh at-Tauhid:
1. 'Umdah al-Murid
2. Talkhis at-Tajrid
3. Hidayah al-Murid
semuanya ditulis oleh mu'allif jauharoh at-Tauhid, Syaikh Ibrohim al-Laqqoni.
4. Fath al-Qorib al-Majid karya Syaikh 'Abdul Barr bin 'Abdulloh al-Ajhuri (w. 1020 H)
5. Taqrib al-Ba'id, Syaikh 'Ali at-Tamimi al-Muakhkhir.
6. Syarh Jauharoh at-Tauhid karya Syaikh Ahmad ash-Showi (w. 1241 H)
7. Tuhfah al-Murid karya Syaikh Ibrohim bin Muhammad al-Bajuri (w. 1277 H), Syaikh Jami' al-Azhar.
8. al-Manhaj as-Sadid karya Syaikh Muhammad al-Hanifi al-Halabi (w. 1342 H)
9. Bughyah al-Murid karya Syaikh Ibrohim al-Marghoni (w. 1349 H), mufti Maliki pada Majlis Syar'i negara Tunisia.

Referensi: Tahqiq Taqrib al-Ba'id ila Jauharoh at-Tauhid, al-Habib bin Thohir.

Mengucapkan Hamdalah setelah Bersin dalam Sholat


Tanya

Mengucapkan hamdalah setelah bersin hukumnya sunnah. Apakah hukum sunnah itu berlaku pada saat sholat? Mohon penjelasan.

Jawab

Mengucapkan hamdalah (الحمد لله) setelah bersin hukumnya sunnah, baik di luar maupun di dalam sholat. Namun harus diperhatikan bahwa salah satu syarat dalam membaca fatihah adalah muwalah, yaitu terus menerus dan tidak terputus. Artinya, dalam membaca fatihah tidak boleh berhenti lebih dari sekedar mengambil dan mengeluarkan napas.

Bacaan fatihah juga  tidak boleh diselingi dengan dzikir yang tidak berkaitan dengan sholat, seperti membaca hamdalah setelah bersin. Apabila bacaan fatihah diselingi dengan bacaan yang tidak berkaitan dengan sholat, maka fatihahnya harus diulangi dari awal. Adapun dzikir yang berkaitan dengan sholat, seperti mengucapkan amin pada saat mendengar imam selesai membaca fatihah, maka itu tidak memutuskan bacaan fatihah.

Walloh a’lam bi ash-showab

ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين (1/  141)
(و) مع رعاية (موالاة) فيها بأن يأتي بكلماتها على الولاء بأن لا يفصل بين شيء منها وما بعده بأكثر من سكتة التنفس أو العي (فيعيد) قراءة الفاتحة (بتخلل ذكر أجنبي) لا يتعلق بالصلاة فيها وإن قل كبعض آية من غيرها وكحمد عاطس وإن سن فيها كخارجها لإشعاره بالإعراض
(لا) يعيد الفاتحة (ب) تخلل ما له تعلق بالصلاة ك (تأمين وسجود) لتلاوة إمامه معه (ودعاء) من سؤال رحمة واستعاذة من عذاب وقول بلى وأنا على ذلك من الشاهدين
ـــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
حاشية إعانة الطالبين
(قوله وكحمد عاطس) أي قوله الحمد لله في أثناء الفاتحة فإنه يقطعها ويجب عليه إعادتها
(قوله وإن سن إلخ) يعني أن حمد العاطس يقطع الموالاة وإن كان يسن الحمد في الصلاة كما يسن خارجها
(قوله لإشعاره) أي تحلل الذكر وهو علة للإعادة
وعبارة الرملي لأن ذلك ليس مختصا بها لمصلحتها فكان مشعرا بالإعراض اه

فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين (1/  142)
(لقراءة إمامه) الفاتحة أو آية السجدة أو الآية التي يسن فيها ما ذكر لكل من القارىء والسامع مأموما أو غيره في صلاة وخارجها
فلو قرأ المصلي آية أو سمع آية فيها اسم محمد صلى الله عليه وسلم لم تندب الصلاة عليه كما أفتى به النووي
(و) لا (بفتح عليه) أي الإمام إذا توقف فيها بقصد القراءة ولو مع الفتح ومحله كما قال شيخنا إن سكت وإلا قطع الموالاة
وتقديم نحو سبحان الله قبل الفتح يقطعها على الأوجه لأنه حينئذ بمعنى تنبه
(و) يعيد الفاتحة بتخلل (سكوت طال) فيها بحيث زاد على سكتة الاستراحة (بلا عذر فيهما)
ـــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
 حاشية إعانة الطالبين

(وقوله التي يسن فيها ما ذكر) أي سؤال الرحمة إلخ
والآية التي يسن فيها سؤال الرحمة مثل قوله تعالى {ويغفر لكم والله غفور رحيم} فيسأل الرحمة بقوله رب اغفر وارحم وأنت خير الراحمين
والتي يسن فيها الاستعاذة من العذاب مثل قوله {ولكن حقت كلمة العذاب على الكافرين} فيسأل الاستعاذة بقوله رب إني أعوذ بك من العذاب
والتي يسن فيها قوله بلى وأنا على ذلك من الشاهدين قوله تعالى {أليس الله بأحكم الحاكمين} إه

Sekilas tentang Kitab Safinah an-Naja (سفينة النجا)

Oleh: Hasan Basri Hambali

Safinah an-Naja (bahtera keselamatan) adalah salah satu kitab dasar yang banyak dikaji di pesantren-pesantren salafiyyah. Kajian kitab ini meliputi bidang ushul ad-din dan fiqih. Dalam bidang ushul ad-din (tauhid) mengikuti aqidah islamiyah ahlus sunnah wal jama’ah, yaitu aqidah yang akan membawa keselamatan di dunia dan akhirat. Sedangkan dalam bidang fiqih mengikuti madzhab Syafi’i, madzhab mayoritas muslim Indonesia, dan salah satu madzhab fiqih mu’tabar yang disepakati oleh para ulama.

Pokok bahasan kitab ini meliputi:
1. bagian ushul ad-din: menguraikan rukun iman, rukun islam dan makna kalimah thoyyibah لا إله إلا الله
2. bagian fiqih: menguraikan tatacara bersuci, sholat, penyelenggaraan jenazah, zakat dan puasa.

Kitab yang berbentuk natsr (prosa) ini adalah salah satu karya Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhromi asy-Syafi’i, salah seorang ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang berasal dari Hadromaut. Kitab yang sangat bermanfaat ini kemudian diberi penjelasan (syarh) oleh Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar al-Bantani asy-Syafi’i (w. 1316 H/1898 M) dengan judul Kasyifah as-Saja Syarh Safinah an-Naja.

Referensi: 
- Syaikh Nawawi al-Bantani, Kasyifah as-Saja, hal. 2.
- az-Zirikli, al-A'lam, J. 6, hal. 318.

Mengenal Kitab Hidayah al-Adzkiya' (هداية الأذكياء)

Hidayah al-Adzkiya’ ila Thoriq al-Auliya’ (petunjuk bagi orang-orang cerdas menuju jalan para wali) adalah salah satu buah karya Syaikh Zainuddin al-Ma’bari al-Mallibari (w. 928 H/1522 M). Nama lengkap beliau adalah Zainuddin bin ‘Ali bin Ahmad al-Ma’bari al-Mallibari asy-Syafi’i. Syaikh Zainuddin adalah ayah dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz dan kakek dari Syaikh Zainuddin (w. 987 H/1579 M) penulis kitab fath al-Mu’in, salah satu kitab fiqih madzhab Syafi’i yang sangat populer di kalangan pesantren.

Kitab tashawuf ini berbentuk nazhm dengan mengikuti bahr kamil (wazan متفاعلن  sebanyak enam kali). Dengan bentuk nazhm, kitab ini sangat digemari dan dijadikan salah satu rujukan dalam pengajian tashawuf di pesantren. Di samping itu materi bahasannya juga mampu menuntun seorang murid dalam menempuh jalan (suluk) menuju ridho Alloh SWT.

Pembahasan pokok kitab ini menguraikan sembilan wasiat yang harus ditempuh oleh setiap murid, yaitu:
1. taubat
2. qona’ah
3. zuhud
4. menuntut ilmu-ilmu syara’
5. memelihara sunnah
6. tawakkul
7. ikhlas
8. ‘uzlah
9. menjaga waktu

Keistimewaan yang dimiliki kitab ini menggiring para ulama untuk meminta kepada Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatho salah seorang ulama yang mengajar di masjid al-Harom Mekkah untuk membuat penjelasan (syarh) terhadap kitab tersebut, maka lahirlah kitab Kifayah al-Atqiya’ wa Minhaj al-Ashfiya’. Di samping itu, Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani asy-Syafi’i (w. 1316 H/1898 M) juga menyusun syarh lain yang berjudul Salalim al-Fudhola’ ‘ala Hidayah al-Adzkiya’.

Referensi:
1. Kifayah al-Atqiya'
2. Salalim al-Fudhola'
3. al-A'lam
Home