Do'a Melahirkan


Dianjurkan membaca beberapa bacaan berikut di dekat ibu hamil yang akan melahirkan:
1.     Ayat Kursi
2.     QS al-A’rôf 54:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّموَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ اَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (الأعراف : ٥٤(
3.     al-Mu'awwidzatain (falaq - binnas)
4.       memperbanyak do'a menghadapi kesulitan (du'â` al-karb), yaitu:
لَا إلهَ إلَّا اللهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ لَا إلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ، لَا إلهَ إلَّا اللهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ، وَرَبُّ الْأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
5.     dan memperbanyak do'a Nabi Yunus AS:
 فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (الأنبياء : ٨٧(
#Sumber: Hâsyiyah al-Bujayrimî 'alâ al-Khôthib 

Sunnah Rowatib pada Saat Menjama' Sholat


Tanya:

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Mau tanya, kalau shalat dijama' rowatibnya bagaimana? trmksh.

Sahabat di Serang Setu

Jawab:


Wa'alaikum Salam Wr. Wb.

Salah satu urutan yang bisa dilaksanakan adalah sebagai berikut: 
1. sholat sunnah qobliyah zhuhur/maghrib 
2. shola fardhu yang dijama' 
3. sholat sunnah ba'diyah zhuhur/maghrib 
4. sholat sunnah qobliyah ashar/isya 
5. sholat sunnah ba'diyah isya
    Dasar yang harus diperhatikan adalah:
    • pada jama' taqdim, tidak boleh mendahulukan sunnah rowatib sholat yang kedua (ashar/isya) sebelum sholat fardhu yang dijama'.
    • tidak boleh mendahulukan sholat ba'diyah sebelum sholat fardhu yang bersangkutan.
    Demikian semoga bermanfaat.

    Wallohu a'lam bish showab

    ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ
    (وَ) ثَالِثُهَا (الْمُوَالَاةُ بِأَنْ لَا يَطُولَ بَيْنَهُمَا فَصْلٌ) لِأَنَّهُ الْمَأْثُورُ وَلِهَذَا تُرِكَتْ الرَّوَاتِبُ بَيْنَهُمَا وَكَيْفِيَّةُ صَلَاتِهَا أَنْ يُصَلِّيَ سُنَّةَ الظُّهْرِ الْقَبْلِيَّةَ، ثُمَّ الْفَرْضَيْنِ، ثُمَّ سُنَّةَ الظُّهْرِ الْبَعْدِيَّةَ، ثُمَّ سُنَّةَ الْعَصْرِ وَكَذَا فِي جَمْعِ الْعِشَاءَيْنِ وَخِلَافُ ذَلِكَ جَائِزٌ.
    نَعَمْ لَا يَجُوزُ تَقْدِيمُ رَاتِبَةِ الثَّانِيَةِ قَبْلَهُمَا فِي جَمْعِ التَّقْدِيمِ وَلَا تَقْدِيمُ بَعْدِيَّةً الْأُولَى قَبْلَهَا مُطْلَقًا كَمَا عُلِمَ مِمَّا مَرَّ
    [تحفة المحتاج في شرح المنهاج 2/ 397]
     ــــــــــــــــــــــــــــــــ
    (قَوْلُهُ: تُرِكَتْ الرَّوَاتِبُ) أَيْ وُجُوبًا لِصِحَّةِ الْجَمْعِ ع ش
    (قَوْلُهُ: وَكَيْفِيَّةُ صَلَاتِهَا) أَيْ الرَّوَاتِبِ ع ش
    (قَوْلُهُ: أَنْ يُصَلِّيَ سُنَّةَ الظُّهْرِ إلَخْ) عِبَارَةُ النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي إذَا جَمَعَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ قَدَّمَ سُنَّةَ الظُّهْرِ الْقَبْلِيَّةَ وَلَهُ تَأْخِيرُهَا سَوَاءٌ أَجَمَعَ تَقْدِيمًا أَوْ تَأْخِيرًا وَتَوْسِيطُهَا إنْ جَمَعَ تَأْخِيرًا سَوَاءٌ أَقَدَّمَ الظُّهْرَ أَمْ الْعَصْرَ
    وَأَخَّرَ عَنْهُمَا سُنَّةَ الْعَصْرِ وَلَهُ تَوْسِيطُهَا وَتَقْدِيمُهَا إنْ جَمَعَ تَأْخِيرًا سَوَاءٌ أَقَدَّمَ الظُّهْرَ أَمْ الْعَصْرَ
    وَإِذَا جَمَعَ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ أَخَّرَ سُنَّتَهُمَا وَلَهُ تَوْسِيطُ سُنَّةِ الْمَغْرِبِ إنْ جَمَعَ تَأْخِيرًا وَقَدَّمَ الْمَغْرِبَ وَتَوْسِيطُ سُنَّةِ الْعِشَاءِ إنْ جَمَعَ تَأْخِيرًا وَقَدَّمَ الْعِشَاءَ وَمَا سِوَى ذَلِكَ مَمْنُوعٌ وَعَلَى مَا مَرَّ مِنْ أَنَّ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ سُنَّةً مُقَدَّمَةً فَلَا يَخْفَى الْحُكْمُ مِمَّا تَقَرَّرَ فِي جَمْعَيْ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ كَذَا أَفَادَهُ الشَّيْخُ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ. اهـ.
    (قَوْلُهُ: وَلَا تَقْدِيمُ بَعْدِيَّةً الْأُولَى) الْأَوْلَى تَرْكُ الْأُولَى فَتَأَمَّلْ بَصْرِيٌّ
    (قَوْلُهُ: مُطْلَقًا) أَيْ سَوَاءٌ أَجَمَعَ تَقْدِيمًا أَوْ تَأْخِيرًا
    (قَوْلُهُ: مِمَّا مَرَّ) أَيْ فِي بَابِ صَلَاةِ النَّفْلِ كُرْدِيٌّ قَوْلُ الْمَتْنِ
    [حاشية الشرواني 2/ 397]

    Karomah Para Wali (كرامات الأولياء) [Bagian Akhir]


    Wali dan Karomah

    Kata “wali” adalah bentuk wazan fa’il فعيل)) yang bermakna isim fail, yaitu orang yang senantiasa taat kepada Alloh Subahanu Wa Ta’ala tanpa melakukan dosa kepada-Nya. Kata “wali” juga bisa dimaknai isim maf’ul, yaitu orang yang dipelihara oleh kebaikan dan karunia Alloh Subahanu Wa Ta’ala.

    الولي، هو العارف بالله وصفاته بحسب ما يمكن، المواظب على الطاعات، المجتنب عن المعاصي، المعرض عن الانهماك في اللذات والشهوات

    Wali adalah orang yang mengenal (ma’rifat) Alloh dan sifat-sifat-Nya (sesuai dengan batasan kemampuan akal manusia), senantiasa taat kepada-Nya, menjauhi perbuatan maksiat dan memalingkan diri dari keserakahan hawa nafsu. (at-Ta’rifat hal. 254).

    Seorang wali harus menjauhi perbuatan maksiat, dalam arti tidak ada perbuatan maksiat yang ia lakukan melainkan segera diiringi dengan taubat kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. [Tuhfah al-Murid hal. 96]

    Al-Habib bin Thohir [tahqiq kitab Taqrib al-Ba’id ila Jauharoh at-Tauhid hal. 127] mengutip pendapat para ulama mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali: (1) menguasai pokok-pokok agama (ushul ad-din) sehingga mampu membedakan antara makhluk dengan kholiq, mampu membedakan antara nabi dengan nabi palsu (mutanabbi); (2) mengetahui hukum-hukum syari’ah, seandainya Alloh Subhanahu Wa Ta’ala menghapus seluruh ulama yang ada di muka bumi niscaya pengetahuan agama masih ada pada diri wali tersebut, dan wali tersebut pasti mampu menegakkan kaidah-kaidah agama Islam dari awal sampai akhir; (3) mempunyai akhlak mulia; dan (4) senantiasa merasa takut kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

    Dengan memperhatikan persyaratan di atas, terlihat jelas bahwa tidak semua orang yang memiliki ‘keistimewaan’ adalah wali (kekasih Alloh), karena syarat utama seorang wali adalah memiliki ilmu agama dan mengamalkan ilmu tersebut secara istiqomah dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dimiliki oleh seseorang maka khowariq al-‘adah yang dimilikinya bukanlah karomah, melainkan istidraj (tipuan dari Alloh), dan orang tersebut bukan kekasih Alloh melainkan orang yang dihinakan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

    Penghulu para shufi, Imam Junaid al-Baghdadi Rohimahulloh sebagaimana dikutip oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab asy-Sya’roni [Tanbih al-Mughtarrin hal. 20] berkata:

    كتابنا هذا - يعني القرآن - سيد الكتب وأجمعها, وشريعتنا أوضح الشرائع وأدقها, وطريقتنا - يعني طريق أهل التصوف - مشيدة بالكتاب والسنة. فمن لم يقرأ القرآن ويحفظ السنة ويفهم معانيهما لا يصح الإقتداء به

    “Kitab ini (yakni al-Qur’an) adalah raja dari segala kitab dan kitab yang paling lengkap, syari’at Islam adalah ajaran yang paling jelas dan rinci, dan thoriqoh ini (yakni thoriqoh ahli tashawuf) dibangun di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. Barangsiapa yang tidak membaca al-Qur’an dan memelihara as-Sunnah serta tidak memahami kandungannya, maka ia tidak layak untuk diikuti”.

    Pada kesempatan lain beliau Rohimahulloh berpesan kepada para sahabatnya:

    لو رأيتم رجلا تربع في الهواء فلا تقتدوا به حتى تروا صنعه عند الامر والنهي. فإن رأيتموه ممتثلا لجميع الأوامر الإلهية مجتنبا لجميع المناهي فاعتقدوه واقتدوا به. وإن رأيتموه يخل بالأوامر ولا يجتنب المناهي فاجتنبوه

    “Jika kamu melihat seseorang mampu duduk bersila di udara, janganlah kalian mengikutinya sebelum melihat prilakunya terhadap perintah dan larangan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Jika kamu melihatnya taat terhadap semua perintah Alloh dan menjauhi seluruh larangan-Nya maka ikutilah dia. Jika kamu melihatnya lalai terhadap perintah Alloh dan tidak menjauhi larangan-Nya, maka jauhilah orang tersebut”.

    Pada suatu hari Abu Yazid al-Bishthomi Rohimahulloh berkunjung kepada seseorang yang disebut-sebut sebagai wali, ia duduk menunggunya di sebuah masjid, pada saat keluar dari masjid, orang tersebut mengeluarkan dahak dan membuangnya di dinding masjid. Abu Yazid pun pulang dan tidak jadi bertemu dengan orang tersebut. Abu Yazid berkata:

    كيف يؤمن على أسرار الله من لم يحسن المحافظة على آداب الشريعة

    “Bagaimana mungkin seseorang dapat beriman kepada rahasia-rahasia Alloh apabila ia tidak memelihara adab-adab syari’ah”. [Risalah al-Mu’awanah hal. 13]

    Karomah Shuwariyyah dan Karomah Haqiqiyyah

    Syaikh ‘Abdulloh bin ‘Alawi al-Haddad Rohimahulloh menjelaskan mengenai karomah shuwariyyah dan karomah haqiqiyyah. Karomah shuwariyyah adalah keistimewaan yang dianugerahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba yang dicintai-Nya dalam bentuk kemampuan melipat bumi (thoyy al-ardh), mengetahui berita-berita gaib dan sejenisnya. Sedangkan karomah haqiqiyyah adalah anugerah Alloh dalam bentuk bertambahnya keimanan dan keyakinan, zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat, dan sejenisnya. Keistiqomahan dalam beribadah baik secara lahiriah maupun batiniah merupakan gabungan dari karomah haqiqiyah dan karomah shuwariyah.

    Seorang hamba yang sedang menempuh jalan (suluk) menuju ridho Alloh Subhanahu Wa Ta’ala hendaknya mengharapkan karomah haqiqiyyah, bukan karomah shuwariyyah. Mengharap karomah shuwariyyah dipandang sebagai hal yang tercela dalam tashawuf, karena termasuk mengharap bagian keduniawian. Sedangkan mengharap karomah haqiqiyyah adalah hal yang terpuji karena merupakan inti dari agama dan kebenaran.

    Karomah shuwariyyah adalah anugerah Alloh pada seorang hamba yang harus disyukuri, namun anugerah tersebut tidak boleh dijadikan sebagai tujuan dalam beribadah, karomah tersebut biasanya tidak diberikan kepada orang yang menginginkannya.

    Terkadang Alloh memberikan khowariq al-‘adah pada segolongan hamba yang tertipu, mereka diberi kemampuan yang luar biasa, kesaktian, melihat hal-hal gaib (mukasyafah), dipenuhi setiap do’a dan keinginan, dan sejenisnya, pemberian itu bukanlah karomah melainkan istidraj dan ujian (bala) bagi orang-orang mukmin yang lemah keimanannya, kemampuan luar biasa disebut karomah apabila muncul dari hamba yang istiqomah dalam ketaatan kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.

    Syaikh ‘Abdulloh bin ‘Alawi al-Haddad menegaskan bahwa karomah para wali pada umumnya muncul tanpa mereka inginkan, dan mereka senantiasa memelihara karomah tersebut agar tidak diketahui oleh orang lain. Para wali senantiasa berpesan kepada orang yang mengetahui karomahnya agar keistimewaan tersebut tidak disebarluaskan dan tetap merahasiakannya sampai mereka meninggal dunia. Apabila karomah sengaja diperlihatkan oleh seorang wali kepada orang lain, hal ini semata-mata untuk meraih kemaslahatan yang jauh lebih besar daripada kemaslahatan merahasiakannya. [an-Nafa’is al-‘Ulwiyyah fi al-Masa’il ash-Shufiyah hal. 34, Risalah Adab Suluk al-Murid hal. 46-47 dan hal. 53] Ibnu ‘Atho’illah [al-Hikam, hikmah ke 70] menyatakan:

    من رأيته مجيباً عن كل ما سئل ومعبراً عن كل ما شهد وذاكراً كل ما علم فاستدل بذلك على وجود جهله

    “Jika orang selalu menjawab setiap pertanyaan, mengungkapkan setiap peristiwa yang ia saksikan, dan menyebutkan semua yang ia ketahui, jadikanlah hal itu sebagai petunjuk atas kebodohannya”.

    Wallohu a’lam bish showab

    Karomah Para Wali (كرامات الأولياء) [Bagian 2]


    Eksistensi Karomah

    Imam an-Nawawi Rohimahulloh [Bustan al-‘Arifin hal. 59-61] mengatakan bahwa madzhab ahlul haq (ahlus sunnah wal jama’ah) menetapkan eksistensi karomah bagi para wali, karomah itu benar terjadi dan tetap ada pada sepanjang masa.

    Dalil ‘aqli menetapkan karomah sebagai sesuatu yang mungkin terjadi dan keberadaannya tidak mengakibatkan tercerabutnya dasar-dasar agama. Dengan demikian, karomah termasuk salah satu objek yang berada di bawah kekuasaan (qudroh) Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, dan termasuk peristiwa yang mungkin terjadi (ja’iz al-wuqu’).

    Sedangkan dalil naqli yang menegaskan keberadaan karomah terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya adalah ayat yang menggambarkan kisah Maryam, Ibunda nabi Isa ‘Alaihis Salam.

    {وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا} [مريم: 25]

    “dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”.

    Imam al-Haromain Abu al-Ma’ali Rohimahulloh mengatakan bahwa Maryam bukanlah seorang nabi, ia adalah seorang wali perempuan sehingga peristiwa luar biasa yang dialaminya bukan merupakan mu’jizat melainkan karomah.

    Diantara dalil yang menegaskan keberadaan karomah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh Rhodhiyallohu ‘Anhu tentang kisah Juraij yang bertanya kepada seorang bayi “siapa bapakmu?”, lalu bayi itu pun menjawab “si fulan, seorang penggembala”.

    Syaikh Ibrohim al-Laqqoni [Jauharotut Tauhid bait ke 83] mengatkan:

    83 - وَأَثْبِتَنْ لِلأَوْلِيَا الْكَرَامَهْ ... وَمَنْ نَفَاهَا فَانْبِذَنْ كَلاَمَهْ

    “dan tetapkanlah keberadaan karomah bagi para wali, buanglah ucapan orang yang memandang ketiadaannya”.

    Syaikh Ibrohim al-Baijuri [Tuhfah al-Murid hal. 95] mengatakan bahwa keberadaan karomah bagi para wali adalah sesuatu yang mungkin (ja’iz) menurut hukum akal dan benar-benar terjadi (wuqu’) secara nyata, baik saat wali itu masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Bahkan keberadaan karomah setelah meninggal dipandang lebih utama, mengingat jiwa seseorang telah bersih dari berbagai kotoran.

    Mayoritas golongan mu’tazilah memandang karomah sebagai sesuatu yang mustahil, dengan alasan bahwa keberadaannya dapat menimbulkan kesamaran antara nabi dan wali. Di samping itu kejadian luar biasa (khoriq lil ‘adah) yang terjadi pada nabi (mu’jizat) akan menjadi biasa (‘adah) apabila dialami oleh para wali walaupun dengan sebutan karomah.

    Pandangan ini ditepis oleh para ulama ahlus sunnah, kesamaran antara nabi dan wali tidak akan terjadi karena mu’jizat disertai dengan pengakuan sebagai nabi sedangkan karomah tidak disertai dengan pengakuan tersebut.

    Peristiwa luar biasa juga tidak serta merta berubah menjadi biasa dengan banyaknya persitiwa. [Tuhfah al-Murid hal. 96]. Hal ini dapat dipahami, sebab yang dimaksud “biasa” (‘adah) dan “luar biasa” (khowariq al ‘adah) adalah berlaku tidaknya hukum kausalitas (hukum sebab-akibat), bukan jarang atau seringnya suatu peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang terjadi berdasarkan hukum kausalitas seperti persistiwa yang sering kita saksikan dan kita jalani sehari-hari dinamakan ‘adah. Sedangkan peristiwa yang di dalamnya tidak berlaku hukum kausalitas, walaupun sering terjadi tetap disebut khowariq lil ‘adah.

    (Bersambung ...)

    Karomah Para Wali (كرامات الأولياء) [Bagian 1]


    Definisi Karomah

    Karomah atau keramat adalah kata yang sering kita dengar dan tidak asing lagi di telinga. Biasanya kata ini disandangkan pada para wali berkaitan dengan hal-hal luar biasa yang terjadi dalam hidupnya. Kemampuan menempuh jarak jauh dengan waktu yang singkat, memperoleh ilmu tanpa melalui proses pembelajaran seperti yang dilakukan orang pada umumnya, adalah sebagian contoh dari keramat yang sering dibicarakan banyak orang. Kata keramat juga sering dikaitkan dengan makam para wali, bahkan benda-benda pusaka yang mereka miliki.

    Syaikh asy-Syarif al-Jurjani Rohimahulloh [At-Ta’rifat hal. 184] mendefinisakan karomah sebagai berikut:

    الكرامة: هي ظهور أمر خارق للعادة من قبل شخص غير مقارن لدعوى النبوة، فما لا يكون مقرونًا بالإيمان والعمل الصالح يكون استدراجًا. وما يكون مقرونًا بدعوى النبوة يكون معجزة.

    “karomah adalah munculnya peristiwa yang menyalahi kebiasaan dari diri seseorang tanpa disertai pengakuan sebagai nabi. Apabila tidak disertai keimanan dan amal sholih, maka disebut istidraj, sedangkan yang disertai pengakuan sebagai nabi disebut mu’jizat”.

    Definisi di atas menggambarkan bahwa peristiwa yang menyalahi kebiasaan (khoriq lil ‘adah) tidak semuanya berupa karomah. Karomah muncul dari orang-orang yang dicintai oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala selain para nabi, orang tersebut tentunya harus memiliki keimanan dan keistiqomahan dalam menjalankan amal sholih. Apabila muncul dari seorang Nabi maka dinamakan mu’jizat, bukan karomah. Demikian pula jika muncul dari orang yang tidak beriman kepada Alloh, atau dari seorang mukmin yang tidak taat beribadah, peristiwa luar biasa tersebut disebut istidraj.

    (Bersambung...)
    Home