Kata “wali” adalah bentuk wazan fa’il فعيل)) yang bermakna isim fail, yaitu orang yang senantiasa taat kepada Alloh Subahanu Wa Ta’ala tanpa melakukan dosa kepada-Nya. Kata “wali” juga bisa dimaknai isim maf’ul, yaitu orang yang dipelihara oleh kebaikan dan karunia Alloh Subahanu Wa Ta’ala.
الولي، هو العارف بالله وصفاته بحسب ما يمكن، المواظب على الطاعات، المجتنب عن المعاصي، المعرض عن الانهماك في اللذات والشهوات
Wali adalah orang yang mengenal (ma’rifat) Alloh dan sifat-sifat-Nya (sesuai dengan batasan kemampuan akal manusia), senantiasa taat kepada-Nya, menjauhi perbuatan maksiat dan memalingkan diri dari keserakahan hawa nafsu. (at-Ta’rifat hal. 254).
Seorang wali harus menjauhi perbuatan maksiat, dalam arti tidak ada perbuatan maksiat yang ia lakukan melainkan segera diiringi dengan taubat kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. [Tuhfah al-Murid hal. 96]
Al-Habib bin Thohir [tahqiq kitab Taqrib al-Ba’id ila Jauharoh at-Tauhid hal. 127] mengutip pendapat para ulama mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali: (1) menguasai pokok-pokok agama (ushul ad-din) sehingga mampu membedakan antara makhluk dengan kholiq, mampu membedakan antara nabi dengan nabi palsu (mutanabbi); (2) mengetahui hukum-hukum syari’ah, seandainya Alloh Subhanahu Wa Ta’ala menghapus seluruh ulama yang ada di muka bumi niscaya pengetahuan agama masih ada pada diri wali tersebut, dan wali tersebut pasti mampu menegakkan kaidah-kaidah agama Islam dari awal sampai akhir; (3) mempunyai akhlak mulia; dan (4) senantiasa merasa takut kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Dengan memperhatikan persyaratan di atas, terlihat jelas bahwa tidak semua orang yang memiliki ‘keistimewaan’ adalah wali (kekasih Alloh), karena syarat utama seorang wali adalah memiliki ilmu agama dan mengamalkan ilmu tersebut secara istiqomah dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dimiliki oleh seseorang maka khowariq al-‘adah yang dimilikinya bukanlah karomah, melainkan istidraj (tipuan dari Alloh), dan orang tersebut bukan kekasih Alloh melainkan orang yang dihinakan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Penghulu para shufi, Imam Junaid al-Baghdadi Rohimahulloh sebagaimana dikutip oleh Syaikh ‘Abdul Wahhab asy-Sya’roni [Tanbih al-Mughtarrin hal. 20] berkata:
كتابنا هذا - يعني القرآن - سيد الكتب وأجمعها, وشريعتنا أوضح الشرائع وأدقها, وطريقتنا - يعني طريق أهل التصوف - مشيدة بالكتاب والسنة. فمن لم يقرأ القرآن ويحفظ السنة ويفهم معانيهما لا يصح الإقتداء به
“Kitab ini (yakni al-Qur’an) adalah raja dari segala kitab dan kitab yang paling lengkap, syari’at Islam adalah ajaran yang paling jelas dan rinci, dan thoriqoh ini (yakni thoriqoh ahli tashawuf) dibangun di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. Barangsiapa yang tidak membaca al-Qur’an dan memelihara as-Sunnah serta tidak memahami kandungannya, maka ia tidak layak untuk diikuti”.
Pada kesempatan lain beliau Rohimahulloh berpesan kepada para sahabatnya:
لو رأيتم رجلا تربع في الهواء فلا تقتدوا به حتى تروا صنعه عند الامر والنهي. فإن رأيتموه ممتثلا لجميع الأوامر الإلهية مجتنبا لجميع المناهي فاعتقدوه واقتدوا به. وإن رأيتموه يخل بالأوامر ولا يجتنب المناهي فاجتنبوه
“Jika kamu melihat seseorang mampu duduk bersila di udara, janganlah kalian mengikutinya sebelum melihat prilakunya terhadap perintah dan larangan Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Jika kamu melihatnya taat terhadap semua perintah Alloh dan menjauhi seluruh larangan-Nya maka ikutilah dia. Jika kamu melihatnya lalai terhadap perintah Alloh dan tidak menjauhi larangan-Nya, maka jauhilah orang tersebut”.
Pada suatu hari Abu Yazid al-Bishthomi Rohimahulloh berkunjung kepada seseorang yang disebut-sebut sebagai wali, ia duduk menunggunya di sebuah masjid, pada saat keluar dari masjid, orang tersebut mengeluarkan dahak dan membuangnya di dinding masjid. Abu Yazid pun pulang dan tidak jadi bertemu dengan orang tersebut. Abu Yazid berkata:
كيف يؤمن على أسرار الله من لم يحسن المحافظة على آداب الشريعة
“Bagaimana mungkin seseorang dapat beriman kepada rahasia-rahasia Alloh apabila ia tidak memelihara adab-adab syari’ah”. [Risalah al-Mu’awanah hal. 13]
Karomah Shuwariyyah dan Karomah Haqiqiyyah
Syaikh ‘Abdulloh bin ‘Alawi al-Haddad Rohimahulloh menjelaskan mengenai karomah shuwariyyah dan karomah haqiqiyyah. Karomah shuwariyyah adalah keistimewaan yang dianugerahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba yang dicintai-Nya dalam bentuk kemampuan melipat bumi (thoyy al-ardh), mengetahui berita-berita gaib dan sejenisnya. Sedangkan karomah haqiqiyyah adalah anugerah Alloh dalam bentuk bertambahnya keimanan dan keyakinan, zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat, dan sejenisnya. Keistiqomahan dalam beribadah baik secara lahiriah maupun batiniah merupakan gabungan dari karomah haqiqiyah dan karomah shuwariyah.
Seorang hamba yang sedang menempuh jalan (suluk) menuju ridho Alloh Subhanahu Wa Ta’ala hendaknya mengharapkan karomah haqiqiyyah, bukan karomah shuwariyyah. Mengharap karomah shuwariyyah dipandang sebagai hal yang tercela dalam tashawuf, karena termasuk mengharap bagian keduniawian. Sedangkan mengharap karomah haqiqiyyah adalah hal yang terpuji karena merupakan inti dari agama dan kebenaran.
Karomah shuwariyyah adalah anugerah Alloh pada seorang hamba yang harus disyukuri, namun anugerah tersebut tidak boleh dijadikan sebagai tujuan dalam beribadah, karomah tersebut biasanya tidak diberikan kepada orang yang menginginkannya.
Terkadang Alloh memberikan khowariq al-‘adah pada segolongan hamba yang tertipu, mereka diberi kemampuan yang luar biasa, kesaktian, melihat hal-hal gaib (mukasyafah), dipenuhi setiap do’a dan keinginan, dan sejenisnya, pemberian itu bukanlah karomah melainkan istidraj dan ujian (bala) bagi orang-orang mukmin yang lemah keimanannya, kemampuan luar biasa disebut karomah apabila muncul dari hamba yang istiqomah dalam ketaatan kepada Alloh Subhanahu Wa Ta’ala.
Syaikh ‘Abdulloh bin ‘Alawi al-Haddad menegaskan bahwa karomah para wali pada umumnya muncul tanpa mereka inginkan, dan mereka senantiasa memelihara karomah tersebut agar tidak diketahui oleh orang lain. Para wali senantiasa berpesan kepada orang yang mengetahui karomahnya agar keistimewaan tersebut tidak disebarluaskan dan tetap merahasiakannya sampai mereka meninggal dunia. Apabila karomah sengaja diperlihatkan oleh seorang wali kepada orang lain, hal ini semata-mata untuk meraih kemaslahatan yang jauh lebih besar daripada kemaslahatan merahasiakannya. [an-Nafa’is al-‘Ulwiyyah fi al-Masa’il ash-Shufiyah hal. 34, Risalah Adab Suluk al-Murid hal. 46-47 dan hal. 53] Ibnu ‘Atho’illah [al-Hikam, hikmah ke 70] menyatakan:
من رأيته مجيباً عن كل ما سئل ومعبراً عن كل ما شهد وذاكراً كل ما علم فاستدل بذلك على وجود جهله
“Jika orang selalu menjawab setiap pertanyaan, mengungkapkan setiap peristiwa yang ia saksikan, dan menyebutkan semua yang ia ketahui, jadikanlah hal itu sebagai petunjuk atas kebodohannya”.
Wallohu a’lam bish showab