Lihat saja, misalnya hadist yang   meriwayatkan bahwa ketika Islam telah berkembang luas dan kaum Muslimin telah   memperoleh kemakmuran, sahabat Umar bin Khatthab RA. berkunjung ke rumah   Rosulullah SAW. Ketika dia telah masuk didalamnya, dia tertegun melihat isi   rumah Beliau, yang ada hanyalah sebuah meja dan alasnya hanya sebuah jalinan   daun kurma yang kasar, sementara yang tergantung di dinding hanyalah sebuah   geriba (tempat air) yang biasa beliau gunakan untuk  berwudlu’. Keharuan   muncul di hati Umar RA. yang kemudian tanpa disadari air matanya berlinang. 
 
Maka kemudian Rosulullah SAW.   menegurnya: ”Gerangan apakah yang membuatmu menangis, wahai sahabatku?” Umar   pun menjawabnya: “Bagaimana aku tidak menangis, Ya Rosulullah!... Hanya   seperti ini keadaan yang kudapati di rumah Tuan. Tidak ada perkakas dan tidak   ada kekayaan kecuali sebuah meja dan sebuah geriba, padahal ditangan tuan   telah tergenggam kunci Dunia Timur dan Dunia Barat, dan kemakmuran telah   melimpah. Lalu beliau menjawab: “Wahai Umar aku ini adalah Rosul (utusan)   Allah. Aku bukan seorang kaisar dari Romawi dan juga bukan seorang Kisra dari   Persia. 
 
Mereka hanyalah mengejar duniawi,   sementara aku mengutamakan ukhrawi (akhirat). ”Suatu hari Malaikat Jibril AS.   datang kepada Nabi SAW. setelah menyampaikan salam dari Allah SWT, dia   bertanya: “Ya Muhammad, manakah yang engkau sukai menjadi Nabi yang kaya raya   seperti Sulaiman AS atau menjadi Nabi yang papa seperti Ayub AS.?” Beliau   menjawab: ”Aku lebih suka kenyang sehari dan lapar sehari". 
  
Disaat kenyang, aku bisa   bersyukur kepada Allah SWT. dan disana lapar aku bisa  bersabar dengan   ujian Allah SWT. ”Bahkan suatu hari Rosulullah SAW. pernah bertanya   kepada  sahabatnya: ”Bagaimana sikap kalian, jika sekiranya kelak telah   terbuka untuk kalian kekayaan Romawi dan Persia?” Di antara sahabatnya ada   yang segera manjawab: ”Kami akan tetap teguh memegang agama, ya Rosulullah   SAW..” Tetapi beliau segera menukas: ”Pada saat itu kalian akan berkelahi   sesama kalian. Dan kalian akan berpecah belah, sebagian kalian akan   bermusuhan dengan sebagian yang lainnya. 
  
Jumlah kalian banyak tetapi   kalian lemah, laksana buih di lautan. Kalian akan hancur lebur seperti kayu   di makan anai-anai! ”Para sahabat penasaran, lalu bertanya: ”Mengapa bisa   begitu ya Rosulullah.” Lalu Nabi SAW. segera menjawabnya: ”Karena pada saat   itu hati kalian telah terpaut dengan duniawi (materi) dan aku menghadapi   kematian.” Di kesempatan lain beliau juga menegaskan: ”Harta benda dan   kemegahan pangkat akan menimbulkan fitnah di antara kalian! ”Apa yang   dinyatakan oleh Rosulullah SAW. tersebut bukanlah ramalan, karena beliau   pantang untuk meramal. Tetapi adalah suatu ikhbar bil mughayyabat   (peringatan) kepada umatnya agar benar-benar waspada terhadap godaan dan tipu   daya dunia. 
  
Sepeninggal Nabi pun, ternyata   apa yang beliau sabdakan itu menjadi kenyataan. Fitnah yang sangat besar   terjadi di separoh terakhir masa pemerintahan Khulafaurrasyidin. Dan lebih   hebat lagi terjadi di zaman Daulah Bani Umayyah, dimana sistem pemerintahan   telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas,   yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau   kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. 
  
Dan akhirnya berujung pada   munculnya pemberontakan yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah dan   Zuhhad. Hanya saja ada perbedaan diantara mereka, kedua golongan yang pertama   memberontak dengan motifasi politik, yakni untuk merebut kekuasaan dan jabatan,   sementara golongan terakhir untuk mengingatkan para penguasa agar kembali   kepada ajaran Islam dan memakmurkan kehidupan rohani, serta untuk menumbuhkan   keadilan yang merata bagi warga masyarakat. Mereka berpendapat bahwa   kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan dapat   memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam. 
  
Meskipun saat itu Daulah Bani   Umayyah merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah   kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai   daratan Spanyol Eropa di bagian barat, pada akhinya mengalami kehancuran.   Pengalaman dan nasib yang sama juga dialami oleh Daulah Bani Abasyiyah.   Meskipun saat itu jumlah umat Muslim sangat banyak dan kekuasaan mereka   sangat besar, tetapi hanya laksana buih di lautan atau kayu yang dimakan   anai-anai, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi SAW. di atas. Semua itu   dikarenakan faktor hubb al-dunya (cinta dunia) dan karahiyat al-maut (takut   menghadapi kematian). Sebab yang tampak makmur hanya kehidupan lahiriyah/duniawi,   sementara kehidupan rohani/batiniyah mereka mengalami kegersangan. 
  
Inilah yang menjadi motifasi   golongan Zuhhad yang gerakan-gerakannya untuk mengajak kembali kepada ajaran   Islam yang benar untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.  Gerakan yang muncul   di akhir abad ke 6 (enam) hijriyyah ini, pada mulanya merupakan kegiatan   sebagian kaum Muslimin yang semata-mata berusaha mengendalikan jiwa mereka   dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT., agar tidak   terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). 
  
Karenanya, pada saat itu mereka   lebih dikenal dengan sebutan “zuhhad” (orang-orang yang berperilaku zuhud),   ”nussak” (orang-orang yang berusaha melakukan segala ajaran agama) atau   “ubbad” (orang yang rajin melaksanakan ibadah). Lama kelamaan cara kehidupan   rohani yang mereka tempuh, kemudian berkembang menjadi alat untuk mencapai   tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam yaitu berkehendak mencapai   hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepeda Allah SWT. yang sebenar-benarnya,   melalui riyadloh (laku prihatin), mujahadah (perjuangan batin yang   sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah),   musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah) atau dengan istilah lain,   laku batin yang mereka tempuh di mulai dengan ”takhalli” yaitu mengosongkan   hati dari sifat-sifat tercela, lalu ”tahalli” yaitu menghiasi hati dengan   sifat yang terpuji, lalu ”tajalli” yaitu mendapatkan pencerahan dari Allah   SWT. 
  
Tata cara kehidupan rohani   tersebut kemudian tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Muslim, yang pada   akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan sebutan   ilmu “Tashawuf”. Sejak munculyna Tashawuf Islam di akhir abad kedua hijriyah,   sebagai kelanjutan dari gerakan golongan Zuhhad, muncullah istilah “Thoriqoh”   yang tampilan bentuknya berbeda dan sedikit demi sedikit menunjuk pada suatu   yang tertentu, yaitu sekumpulan aqidah-aqidah, akhlaq-akhlaq dan   aturan-aturan tertentu bagi kaum Shufi. 
  
Pada saat itu disebut “Thoriqoh   Shufiyyah” (metode orang-orang Shufi) menjadi penyeimbang terhadap sebutan   “Thoriqoh Arbabil Aql wal Fikr” (metode orang-orang yang menggunakan akal dan   pikiran). Yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa), sementara yang   kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata/empiris). Isilah “thoriqoh“   terkadang digunakan untuk menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku   yang dilakukan oleh seorang Mursyid kepada muridnya. 
  
Pengertian terakhir inilah yang   lebih banyak difahami oleh banyak kalangan, ketika mendengarkan kata   “thoriqoh”. Pada perkembangan berikutnya, terjadi perbedaan diantara tokoh   Shufi didalam menggunakan metode laku batin mereka untuk menggapai tujuan   utamanya, yaitu Allah SWT. dan ridlo-Nya. Ada yang menggunakan metode   latihan-latihan jiwa, dari tingkat terendah, yaitu nafsu ammarah, ke tingkat   nafsu lawwamah, terus ke nafsu muthma’inah, lalu ke nafsu mulhamah,   kemudian  ke tingkat nafsu rodliyah, lalu ke nafsu mardliyyah, sampai ke   nafsu kamaliyyah. Ada juga yang menggunakan metode takhalli, tahalli dan   akhirnya tajalli. Ada pula yang menggunakan metode dzikir, yaitu dengan cara   mulazamatudz-dzikri, yakni melanggengkan dzikir dan senantiasa mengingat   Allah SWT. dalam keadaan apapun. 
  
Dari perbedaan metode itulah,   akhirnya muncul aliran-aliran thoriqoh yang mengambil nama dari tokoh-tokoh   sentral aliran tersebut, seperti Qodiriyah, Rifa’iyyah, Syadzaliyyah,   Dasuqiyyah/Barhamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, dan lain   sebagainya. 
 |